berapa harga sebuah komitmen?

Namanya terikat memang nggak enak. Banget. Pada dasarnya jiwa manusia itu pengen bebas. Kalau dari hirarkhi Maslow sih, memang nggak ada yang namanya tingkatan ‘kebebasan’ (mungkin bisa sih dikategorikan di tingkat ‘penghargaan diri’). Tapi kebebasan itu merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Saya sih lebih senang bebas bisa jalan-jalan sore hari, pergi ke toko buku, atau sekedar ke alun-alun mau liat topeng monyet daripada disuruh rapat unit atau kuliah sore. Tapi sebetulnya kalau dipikir sih, kalau saya mau ke alun-alun aja daripada rapat unit atau kuliah sore, nggak apa-apa juga ‘kan? Toh ini hidup saya, yang menentukan saya. Well, gara-gara hal ini akhirnya muncul pertanyaan di kelas Etika dan Filsafat dulu : apakah kebebasan itu benar-benar bebas?



Bicara keterikatan, kita akhirnya bicara perkara komitmen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Semakin kita dewasa, kata ini selalu mampir di telinga kita, menggandoli pikiran kita dan berjalan beriringan. Ya, ketika kita memilih pilihan dalam hidup, disitulah kita berjanji untuk menjalaninya, entah dalam suasana mangkel, sebel, capek, sibuk kuliah, sibuk makan, sibuk cari uang, pacaran dll. Kalau sudah terikat, ya harus ditepati. Kalo kata motivator-motivator sih : Orang yang komitmennya baik, adalah pertanda orang yang baik. Orang yang sukses adalah bukan sekedar yang IPKnya baik, nggak pernah bolos kuliah, rajin ikut seminar, cumlaude dll tapi orang yang punya integritas tinggi, jujur, bertanggungjawab, berkomitmen, santun dll. Sayangnya survival tools itu kurang begitu diajarkan di bangku akademis ya? Cara mempelajari soft skill-soft skill itu adalah dengan banyak berorganisasi dan bersosialiasi di masyarakat.



Kamu ngomong begini apa kamu juga udah punya komitmen yang tinggi?



Definitely, nope! Saya juga masih belajar, maklum ya masih levelan beginner. Saya pernah mangkir juga kok, komitmen luntur, nggak tanggung-tanggung, kelunturannya jadi warna item alias saya cabut gitu aja, gak mau tau sama kondisi yang saya tinggalkan. Sudah terlanjur kesal, terlanjur nggak bisa mentolerir. Dan sekarang saya menyesalinya, karena orang (apalagi dalam berorganisasi) nggak mau tau kamu sebel, kesel, capek, dll. Yang mereka tau adalah kamu sudah berkomitmen dan kamu sudah berjanji untuk menepatinya. Saya menyesal juga, kalau waktu itu saya nggak sanggup, kenapa saya approve juga bisikan buat mengiyakan posisi itu. Akibatnya, yaaaaa mungkin sekarang saya jadi nggak dipercaya lagi. Gimana lagi, itu konsekuensi karena saya cabut tanpa pamit sih *nyengir paham*



Tapi lho, berkomitmen itu tetep aja malesin! Tanggungjawab lagi, kan aku jadi nggak bisa enak-enakan. Waktuku buat hore-hore jadi tersita K Cuma dapet capek.



Benar juga sih, ketika kita bekerja dengan penuh semangat, kita akan mendapatkan achievement, misalnya berupa kenaikan posisi. Tapi yang terjadi berikutnya adalah kita akan bekerja lebih keras lagi, lebih memakan banyak waktu dan beban tanggungjawabnya makin besar (… and the #sigh’s hashtag suddenly appear). Tapi pastinya semuanya sudah dirancang adil ‘kok. Nggak mungkin Cuma dikasih yang penuh penderitaan melulu, nggak ada senengnya. Mungkin karena naik posisi, bisa kenal orang lebih banyak lagi, rejekinya lebih banyak lagi, yang bantuin juga luebiiiih buanyaaaaaak lagi. Komitmen ini ajaib banget ya K



Kadang saya juga ngeri kalau inget sudah berapa banyak saya mangkir dari komitmen, lupa pada janji dan SENGAJA melupakan janji. Harga sebuah komitmen itu sangat besar sih, takut nggak bisa menebusnya kembali, soalnya harga sebuah komitmen itu adalah kepercayaan.




Jadi keinget sama gambar ini deh nancep banget ahahahhaha

Komentar

Postingan Populer