Sepeda

Ia selalu setia dengan sepedanya. Tak seperti sepeda warna-warni masa kini, yang berbahancarbondan menyolok mata. Entah itu keluaran tahun berapa, yang pasti sudah begitu usang. Bukan dipakai untuk bergaya-gaya di pinggir kota, dikayuh beramai-ramai kemudian diabadikan dalam jepretan kamera dan diunggah sekiranya agar terlihat sebagai gambaran orang yang sehat dan modern.


Tidak ada yang mengabadikannya dalam mata kamera.


Tapi ia setia dengan sepedanya. Sebuah kotak plastik dipasang di bagian belakang. Mereka bagaikan senyawa tak terpisahkan. Ditambah senyumannya, pancaran rasa syukur tak terhingga.


Paginya adalah rejeki dan setia. Kadang bukan perut ini yang menggerakkan otak dan tangan, tapi jauh lebih dari itu.


Namanya pun aku tak tahu. Yang aku tahu sosoknya adalah dimana keriput senja menjadi haru dan penuh juang untuknya. Ia selalu sama, menunggu di dekat unitas kemudian aku yang terburu-buru berlari, kembali memutar badan, untuk bertemu dengannya.


"Pak, beli susu kedelainya pak. Satu."


"Rasa apa, Non?"


"Biasa aja. Bapak dari jam berapa jualnya?"


"Jam 6, Non. Tadi telat, ban sepeda bocor."


"Ooh.. Pak, saya tambah lagi ya, jadi 5 susu kedelai rasa campur aja."


"Kok banyak sekali, Non?"


"Iya, Pak. Buat temen-temen juga."


(dan buat Bapak juga)



*belum pernah motoin Pak Susu Kedelai nih. Semoga kalau ketemu lagi saya bisa motoin :D*

Komentar

Postingan Populer