Angkot itu 2500, Jendral!

Kalau ditanya adakah hal yang setia sama kamu selain Tuhan  dan keluargamu? Jawabannya : Angkot. Yah,semenjak menyesali ketidakmampuan naik kendaraan apapun, saya menyadari bahwa kendaraan berwarna biru (di Malang warnanya biru) dengan inisial trayek 2-3 huruf itu benar-benar membantu saya.


Saya memang nggak terbiasa naik kendaraan umum. Kalaupun Papa tidak bisa mengantar-jemput pas jaman sekolah dulu atau tidak ada orang yang bisa ditebengin, saya pasti menempuh jalan ‘terakhir’ yaitu jalan kaki. Jalan kaki kan sehat, lagipula jarak rumah saya dengan sekolah-sekolah saya terdahulu sangat dekat. Cuma 5-10  menit bisa sampai di sekolah tepat waktu. Tapi kalau sekarang “Jalan kaki ‘kan sehat” dibuat alasan untuk ke kampus, rasanya saya mikir-mikir dulu deh. Yang ada sampai di kampus sudah keburu gempor dan mandi keringat dan menyebarkan aura negatif hahaha


Dan sejak kuliah inilah saya berkenalan dengan angkot. Sejujurnya, hampir 20 tahun,trayek angkot yang saya tahu Cuma 4 : AT (dari rumah ke rumah Mira, sahabat saya), LG dan JDM (buat ngampus,masuk dari Veteran) dan ASD (buat ke kampus, tepatnya ke unitas, masuk dari gerbang Soekarno-Hatta). Rutenya Cuma begitu-gitu aja. Soalnya saya sering paranoid salah arah dan tidak bisa kembali ke rumah. Tapi setidaknya 3 trayek angkot itu cukup memberi banyak pengalaman.


Entah kenapa, saya lebih suka duduk di depan, di samping pak Sopir yang sedang bekerja. Mungkin ngerasa lebih safe kali ya, daripada duduk di belakang, takut dijahatin orang (hahaha.. Paranoid ke-seribu dalam naik angkot). Gara-gara ini saya sering diajakin ngobrol sama Pak Sopirnya. Ngobrol ngalor-ngidul lah, sampai kadang saya bingung harus nanggepin apa. Pernah ada Pak Sopir yang bercerita tentang anak perempuannya yang pintar tapi nggak bisa nerusin ke jenjang universitas karena nggak ada biaya. Beliau ‘Cuma’ seorang sopir angkot, dan anaknya (kalau nggak salah) ada 4. Jadi harus bagi-bagi biaya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan untuk pendidikan.


Pendidikan tidak menjamin pekerjaan di masa depan? Banyak orang bilang hal ini,tapi saya mendengar langsung dari orangnya. Ada pak Sopir yang waktu saya duduk di sampingnya, bercerita bahwa beliau dulu kuliah juga di Brawijaya, jurusan Pertanian kalau tidak salah, teman sekelasnya Pak Yogi (sekarang rector UB).Beliau pergi ke Jakarta setelah lulus. Niatnya mengadu nasib, tapi apa daya jalan hidup memang nggak bisa diatur sama manusia, beliau akhirnya berakhir menjadi sopir angkot. Sangat jauh dengan pendidikan yang ditempuh sebagai sarjana Pertanian. (Well, apapun pekerjaannya asal halal,tetap mulia di mata Tuhan kok. Kalau nggak ada orang seperti bapaknya, orang kaya saya bakal terus ngerepotin orang :p )


Di dalam angkot saya juga jadi menikmati lagu dangdut. Dangdut koplo, saudara-saudara. Ada juga yang muter lagunya Radja daramdamdararam. Tapi bukan 2 jenis music itu yang mengganggu konsentrasi saya, tapi selera pak Sopir yang nyetel lagu keroncong dan Gun’s and Roses! Hasilnya dalam perjalanan rumah-kampus yang rencananya mau dipakai buat belajar UAS, jadi tidak konsen saudara-saudara soalnya saya lebih konsen dengerin lagunya daripada belajar (alibi ke-seratus tigapuluh enam). Dan saya galau di angkot gara-gara pernah disetelin salah satu pak Sopir lagunya Phil Collins yang One More Night. Pasti pekerjaan lain dari pak Sopir-Phill-Collins itu adalah pemain band atau penyiar !


Beberapa hari yang lalu saya naik angkot jurusan Landungsari-Gadang, ceritanya mau ke kampus. Dan wow! Saya benar-benar baru sekali itu naik angkot yang bersih, bagus sekali.

Tidak seperti angkot-angkot yang biasanya, angkot nomer 085 (Iya, dia mencantumkan nomor angkotnya) jurusan LG itu bersih, tempat duduknya dilapisi kulit imitasi warna biru. Musik yang diputar .. cukup okelah, Afgan dan RAN. Supirnya nggak ugal-ugalan dan …



angkot ini punya fire extinguisher! *amazed*!


Kalau semua angkot seperti ini, rasanya semua orang bakal dengan senang hati akan mau naik kendaraan umum, nggak bingung sama kendaraan pribadi dan kenaikan BBM :)


Di angkot juga sering ketemu orang aneh-aneh. Pernah ada yang ngeliatin saya terus dari pertama saya masuk angkot. Ngeri, takut dijahatin. Untung sudah dekat kampus, jadi saya buru-buru turun. Ada juga dua orang ABG yang heboh sendiri, ketawa-ketiwi sampai kakinya diangkat-angkat begitu (saya bingung, kenapa musti angkat-angkat kaki segala? Ah!). Ada juga kakek renta yang ngebuat saya merasa bersalah karena duduk di pojokan (Ah! Ini juga susah dijelaskan. Kehidupan dalam angkot itu kejam, Jendral!)


Di angkot juga ada kesalnya. Kalau ngetemnya lama, kalau kebut-kebutan sama angkot lain, kalau sopirnya ngadain arisan sama sopir yang lain sembari nyetir di jalan, kalau saya belum duduk tiba-tiba sudah digas kenceng-kenceng, kalau nunggunya kelamaan sementara saya udah ngantuk dan mendung.


Well, bagaimanapun keadaannya, saya tetap berterimakasih sama angkot. Orang-orang termarjinalkan seperti saya butuh angkot, meskipun angkot di Malang mahal sekali. Kalau nggak pakai seragam tarifnya 2500 rupiah. Denger-denger Kopaja nggak semahal ini. Pak Sopir juga pekerjaannya nggak kalah mulianya sama orang yang bekerja dalam gedung-gedung tinggi karena sudah mengantarkan orang sampai tujuannya.


Tapi, bentuk ucapan terimakasih saya kadang bikin shock :


Saya: (nyodorin duit duaribulimaratus) “Makasih, Pak!”


Bruuuuuuuuuuummm!! (Tancap gas, dikasih asap hitam)


(Bapaknya lagi kejar setoran #PositifThinking)

Komentar

Postingan Populer