Menerkamu

Kopi di teras rumah sudah kehilangan uapnya. Sama seperti diriku yang kehilangan daya menunggumu semalaman suntuk menahan kantuk. Kamu kemana, Mas? Tak bisa kuhubungi kamu, tak bisa kulihat senyummu di pancaran purnama itu. Kamu bilang, akan bawakan martabak manis untuk si Manis kita yang tengah tertidur lelap di ruang tengah. Aku tak lagi menginginkan martabak manis, aku hanya ingin mendengar gemeretak kayu reyot pintu gubuk sederhana kita, tanda kepulanganmu.


Mas, pulanglah dengan diantar semilir angin dan suara burung hantu yang seakan mengajak berkelakar, memecah gelisah.


Aku capek bertanya dan menerka.


Segera pulanglah, karena kau adalah muara bahagiaku.


08.00


Malam kemarin kamu akhirnya pulang, Mas. Sukacita kehadiran ragamu tak diiringi dengan jiwamu. Aku lunglai dan kosong, Mas. Kamu yang gagah memelukku erat, kini biru-biru lebam yang memelukmu erat.


Si Manis meminum air tajin dari dotnya, menelan kepahitan yang tak dia pahami.


Di kantongmu, segepok lembaran merah dan biru menjadi jawaban. Mengapa kau lakukan, sedangkan Tuhan pun sudah bilang Ia tak suka kau lakukan itu.


Sudahlah, aku tak perlu lagi menanyakan dan menyalahkan. Terkaanku tentang harum parfum wanita, tidak terbukti adanya.


Kaulah orang yang berjuang agar Manis tak menjadi orang-orang seperti kita.


Hari ini hari terakhir janjimu musti kau tepati pada Bu Saromah, Kepala Sekolah si Manis. Janjimu yang harus kautepati, kini telah kau penuhi. Tak ada lagi ingkar, yang ada hanyalah sisa haru, tangis dan miris.


Terimakasih atas cintamu, Mas, padaku dan pada Manis. Selamat jalan.

Komentar

Postingan Populer