Social Climber: Menempatkan Pengakuan di Atas Kemampuan

Sudah beberapa bulan ini, handphone saya suka tiba-tiba kagetan, kayak terkena serangan jantung mendadak. Enak-enak ngetik, mendadak dia terdiam beberapa jenak, lalu penampakan screen-nya lompat-lompat ke tab lain. Jadi ikutan kaget sayanya :')

Melihat kenyataan tersebut, saya jadi kepikir buat mengganti handphone saya ini dengan yang baru. Duh padahal umur handphone ini baru 1,5 tahun dan memang saya bukan tipikal orang yang suka gonta-ganti gadget kecuali karena bermasalah. Jadilah saya browsing-browsing segala macam spesifikasi handphone yang mumpuni dan pastinya, sesuai dengan kondisi kantong saya yang tidak tebal-tebal amat ini :)) Segala keyword kutempuh, mulai dari brandnya, memorinya sampai harganya. Yah, dengan kondisi kantong sih, sepertinya brand yang saya pilih gak jauh-jauh dari yang sebelumnya saya pakai atau yang selini. Soalnya setelah melihat-lihat, harga alcatel one touch itu yang sekiranya masih masuk. Tapi, entahlah, drama pengen-ganti-handphone selalu akan berakhir dengan beli handphone yang gak disurvey sebelumnya :))

Kegalauan mencari handphone ini membawa saya ke ingatan 9-10 tahun yang lalu, di mana itu saya masih jadi remaja yang ranum, polos dan gak punya penghasilan sendiri :)) *iyalah, wong masih umur belasan*. Saat itu, sebagian besar anak-anak di sekolah saya sudah pegang Blackberry untuk sarana berkomunikasi. Blackberry (BB) zaman itu masih mahal banget, dan dianggap paling ihiy lah kalau tentang BB ke mana-mana.

Dan saya gak punya BB.

Soalnya mahal dan orang tua saya gak sanggup membelikan (dan mereka juga berpikir waktu itu gak perlu sih beliin Winda BB toh BB 'kan kebutuhannya buat orang kantoran). Lagipula saat itu, saya merasa sudah cukup puas punya koneksi internet di rumah.  Jadi punya BB buat internetan itu gak begitu penting. Wong ada SMS, wong ada telfon, wong rata-rata teman-teman pakai MSN dan YM, jadi it was not a big deal. Toh di sekolah saya *yang banyak dirasani orang luar katanya sekolahnya nakanak borju*, gak ada yang meributkan kamu pakai handphone apa. Jadi ya nggak pernah kepikiran.

Beranjak masuk kuliah, fenomena punya BB ini masih ramai sampai saya semester 2 atau 3 gitulah. Sedihnya, banyak orang di circle saya bela-belain ngutang atau apalah demi punya BB. Alasannya? Karena kalau nggak punya BB itu gak gaul, gak bisa tukar-tukaran pin BB. Kekeke ... jangan dimarahin ya, itu memang terjadi dan wajar di usia-usia cabe kita dulu.

Pengen diakui, pengen dianggap lebih, pengen menjadi bagian dari mereka yang punya status sosial lebih tinggi. Kita semua paling gak pernah merasa ingin seperti itu. Aku pun! Pengen jadi selebtweet, selebgram, biar menjadi sosok yang punya kelas. Jalan-jalan ke luar negeri, hampir tiap waktu terlihat berada di tempat-tempat gaul di sudut kota.

Tapi, setelah diakui, "Wih, kamu gaul?", terus apa ya ...

social climber, social climbers, apa itu social climbers, tas branded, tas KW, tas branded second
Image taken from Pinterest.com


Bukan cuma sekali dua kali saya dengar curhatan atau baca cerita di Vemale.com, berhutang ke sana kemari demi beli barang branded, plesiran, nongkrong. It's okay lho, membeli dan melakukan semua itu, jika tujuanmu untuk kepuasan pribadi dan ... jangan ngutang, Bok! Tapi kalau tujuannya supaya dibilang anu, diakui itu, aih ... besar pasak daripada tiang. Ujung-ujungnya semua pujian keren dan gaul itu, gak akan ada artinya lagi saat kita harus 'membayar' dengan aneka tagihan dan dikejar-kejar debt collector bahkan memantik api permusuhan dengan orang yang kamu jadikan tempat berhutang.

Saya jadi inget kata teman saya, Mbak Eva, "Prejengan boleh, jahitan kurang." (Gaya boleh, jahitannya kurang). Alias, gayanya selangit tampak dari luar, tapi ternyata di dalamnya rapuh dan mengenaskan. Kalau dulu saat masih remaja sih, ya bisa dimaklumi ya ... Kita semua masih dalam masa pencarian jati diri dan butuh pengakuan lebih untuk menunjukkan siapa kita. Jika hal seperti ini masih berlangsung bertahun-tahun-tahun setelahnya, pertanyaannya, "Mau sampai kapan?". Mau sampai kapan ngutang, mau sampai kapan berpalsu-palsu ria, mau sampai kapan membohongi diri sendiri.

Ada orang-orang yang memang termasuk A-list people, entah karena apa yang mereka kerjakan atau prestasinya. Ada juga orang-orang yang ingin masuk ke dalam A-list people, dengan effort lebih yang cuma mau dia usahakan jika ada 'imbalan' berupa bisa tampak dan terlihat punya 'kelas' di suatu golongan tertentu. Mau banget organize party yang isinya pejabat-pejabat teras semua, tapi malas repot diminta tolong bantu-bantu hajatan di lingkungan rumah sendiri *kisah nyata*.

Pada akhirnya memang balik ke diri masing-masing sih. Mungkin pada saat tertentu, terbesit dalam hati saya, minder ih gak se-ngehits si anu. Tapi saya tekankan pada diri sendiri, kalau saya menuruti gaya hidup seperti anu-itu, apa kabar tagihan listrik, PDAM dan kelangsungan dapur yes ... Hahahha ibu-ibu banget lho cara pikirku ... 

And after all, I totally agree with this quote. It's all about, honestly.

social climber, social climbers, apa itu social climbers, tas branded, tas KW, tas branded second
Image taken from askideas.com
 ... dan saya masih belum nemu handphone untuk menggantikan handphone buluk saya. Any advice?

Komentar

  1. Winda, kedengerannya smartphonemu memang layak diganti, sebab sepertinya RAM-nya sudah kepenuhan.
    Kalau mau cari smartphone, prioritaskan cari yang RAM-nya besar dulu, karena itu yang bisa mengatasi keluhan Winda sekarang.

    Soal social climbing itu, dalam teori Abraham Maslow memang ada orang demikian. Ada orang yang prioritas level kebutuhannya ialah memenuhi kebutuhan fisiknya (nggak pa-pa nggak punya HP, yang penting nggak ngutang kalau ingin beli makan). Tapi ada juga yang prioritas level kebutuhannya memang mencari pengakuan sosial (nah, inilah yang bersedia ngutang hanya untuk jadi social climber).
    Akan tiba saatnya tiap orang mencapai level kebutuhan masing-masing, hanya tinggal masalah waktu saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak, kalo dari diagram Maslow sih sebetulnya tahapannya belum yg paling atas ya. Kalo yg paling atas pasti udah gak ngeribetin masalah-masalah pencitraan begini heheheh

      Hapus
  2. Kayak aku ya, suka kagetan :D ha ha ha....
    Banyak yang aku suka dari point2 di artikel mu ini Wind..kembali ke pribadi masing masing ya, ada orang yang emang rela utang sana sini biar eksis di dunia sosialita, ada orang yang looks biasa2 aja, tapi tajirnya minta ampun kayak si Mark Zuckerberg..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, bergaya dan hidup sesuai kemampuan saja. Mark Zuckerberg aja pakai kaos oblong ke mana-mana :))

      Hapus
    2. Dan seiring dengan itu, liat aja bapak President kita yang down to earthnya minta ampun, naik pesawat, duduknya di kelas ekonomi :D anak2nya juga begitu...Padahal kalau dia mau dia bisa duduk di 1st class ya kan.

      Hapus
  3. To be honest...

    Bergaya tapi sewajarnya, seperti kemampuan dan yang penting ngerasa nyaman buka sekedar ikut-ikutan ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, semoga kita semua selalu bisa seperti itu ya ^^

      Hapus
  4. Mbak,, aku juga bukan pengguna BB , eh pernah ding yg CDMA, (HALAH kok labil kamu Mei?)
    Tapi bener deh zaman baheula BB emang paling ihiy dan banyak bgt circle orang2 yang mengagungkan pemakaian BB ini.
    Sayang sih kalau harus ngutang, aku gak mau gitu. Samapi sekarang juga hp masih biasa2 hasil menang lomba malahan wkwkwkkw
    Terpenting banyak belajar dari kasus itu ya mbak, jangan sampai tampang selangit tapi dalamnya rapuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah enak tuh malah mbak dapet hape menang lomba, pasti sayang ya kalo mau dijual ato rusak ... Inget2 perjuangannya hahahha

      Hapus
  5. hp juga kadang nge-hang tapi belum mau ganti hp baru :\
    Tapi,, yang penting si kita punya apapun itu sesuai kebutuhan, percuma kan bawanya apel kroak tapi cuma bisa buat chat & sosmed tok,, mubazir gitu,,, palagi pake ngutang orang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iniiii hihihihi hpnya canggih ada banyak, njuk ternyata cuma bisa buat telfon sama wasapan :'(

      Hapus
  6. ram ku juga kayanya kecil..cuma 2 giga an.. jadi kalo ada perlu aplikasi..., apus aplikasi lain.., ntar dah gak butuh..lepas lagi..ribet

    BalasHapus
  7. Winda, apa kabar hape yg bebeknya jalan mundur? :))

    BalasHapus
  8. Jadi social climber bisa bikin hepi tapi ya cuma bentar doang. Capek manjat, naik lift aja gimana *eh

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah banget yaa kamu ngak BB, kalo BB pasti ngak punya temen karena bau #LaluDIgampar hahaha

    BalasHapus
  10. Aku trauma bgt sama hutang hahaha. Mendingan hidup cukup (bukan kurang) tanpa hutang. Ga keluar negri ga bakal mati. Ga pake barang branded ga bakal terhina. Bergaya sesuai kantong udah paling pas. Ijin share ya mba.

    BalasHapus
  11. Sampai aku menikah aja masih belum punya handphone hahaha.
    Hp ku juga agak rewel nih, daftar contact keluarnya lamaaaaaa, jadi kalo mau nelpon rada susah. Kecuali kalo sudah inget nomornya kan bisa langsung telpon. Jadi kepikiran mau ganti hp :)

    BalasHapus
  12. Saya ada temen yg social climber sorry to say orangtuanya cuma tkng sayur di pasar tapi demennya deket atau ngaku deket sama socialita. Kasian orangtuaya ngak diakui sama dia

    BalasHapus
  13. kan gak semua orang sama, ada yg memang trying so hard to impress other people... ada yg kayaknya gak ngapa2in tp memberi kesan mendalam sm orang lain and so on :)

    BalasHapus
  14. Ngobrolin soal gaya hidup ini kadang memang suka gemesin. Dulu pas masih kerja banyak kok yang jadi social climber. Apalagi kerja di media. Ujung-ujungnya ada yang menghalalkan segala cara ada juga yang jadi miris karena bisa beli sesuatu yang branded dan up to date tapi pas dilihat keluarganya nggak layak, tinggal masih ngontrak. Miris memang.

    BalasHapus
  15. sebenernya jadi social climber itu bikin capek aja dan gak bakal ada cukupnya. mungkin akan berasa cukup dan bakalan tobat ketika utang udah beneran numpuk kali ya. toh kalaupun begitu ujung2nya hanya akan bawa derita kan?

    banyak2 bersyukur sama keadaan aja dan bergaya sewajarnya. apa salahnya sih emang pake baju unbranded? asalkan layak dipakai dan nyaman.

    BalasHapus
  16. nah itu Winda..jujur dengan disir sendiri dulu aja...capek lhooo kalau terus-terusan pengen impress orang lain :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer