1984 - The Greatest Fear of My Life

"You're locked in a room with the greatest fear. Describe what's in the room."

Ketinggian? Sebagai manusia, sepertinya wajar kalau banyak yang takut ketinggian. But I can handle it. Kalau binatang, mungkin aku takut sama anjing (daripada sama ular), karena trauma pernah dikejar anjing pas kecil. Tapi masih bisa diatasi.

Tapi ketakutan terbesarku adalah ditinggalkan. Flashback ke setahun yang lalu, jelang Papa dipanggil Tuhan, saya sebetulnya sudah bisa merasakan cepat atau lambat, Papa bakal 'pergi'. Dua hari sebelum Papa benar-benar 'pergi', di saat kritisnya, saya mengendarai motor pulang dari RS dengan perasaan gamang. Seperti ada suara-suara di kepala yang bilang, "Kamu harus menghadapi ketakutanmu, Wind." Dan entah kenapa di hari itu, ketakutan saya begitu besar tapi saya gak bisa cerita ke siapa-siapa pun menceritakan dengan jelas dan pasti seperti apa kegamangan yang saya rasakan.

Dua malam itu, saya merasa ibaratnya berada di sebuah ruangan gelap, sama sekali gak ada cahaya, gak ada barang apapun di dalamnya. Ruangnya kedap suara, kedap cahaya, bahkan kedap udara yang bikin sesak bukan kepalang. Gak ada yang memberikan kuncinya untuk saya buka dari dalam. Nyeri ketakutannya sampai ke ulu hati, diaduk-aduk, ditarik ulur, dipatahkan sendi-sendi tulangnya. Tapi berteriak minta tolong pun, gak ada yang bisa menolong sama sekali, kecuali keikhlasan.

Dan setahun setelahnya, hari-hari 'buruk' itu ternyata bisa saya lewati dengan baik meskipun selalu ada ruang kosong yang hampa di hati sepeninggal pria yang paling saya cintai itu. Kita memang akan selalu punya ruang-ruang tersendiri di hati untuk semua orang dalam hidup kita, apalagi itu orangnya sangat istimewa, terlebih orang tua kita. Setelah ikhlas Papa sudah diangkat sakitnya, saya merasa lebih terang menjalani hidup ini tanpa pernah merasa 'ditinggalkan' olehnya. Aneh ya, padahal sebelumnya saya merasa desperate berada di dalam ruangan kosong dan gelap itu. Ternyata, sampai hari ini saya tetap merasa ada Papa di mana pun saya berada. Kalau di rumah atau lagi sendiri, saya cuma merasa Papa lagi pergi aja ke mana gitu, lagi main ke rumah temannya kayak dulu. Unless nggak bisa telfonan lagi sih sama Papa 😅

Sampai hari ini, saya sebetulnya masih takut ditinggalkan. Apalagi rasa ditinggalkan itu benar-benar sangat mengoyak saat kita dilepaskan dari kehidupan seseorang yang sehari-harinya masih ada dalam lingkaran pergaulan kita. Kita masih bisa melihat keberadaannya, melihat updatean socmednya, mendengarkan suara dan melihat punggungnya, tapi ternyata kita masing-masing sudah gak terlibat dalam kehidupan satu sama lain.

Kata quote-quote yang beredar di internet sih, "Every each hello has a goodbye." Saat bertemu seseorang, kita harus siap suatu hari akan ditinggalkan. Baik karena hal sepele yang merusak jalinannya ataupun karena takdir.

Entah, kok rasanya perkara ditinggalkan ini membuatku sering merasa insecure dengan diriku sendiri.

Komentar

  1. emang bener.. paling serem kalo ditinggalkan sama orang yang kita care ya.

    BalasHapus
  2. Seorang sahabat sudah meninggal sekitar 5 tahun lalu tapi sampai sekarang aku masih sering mampir ke Facebooknya buat nulis di wall-nya, just to say hi. Kepergiannya itu seperti dia lagi pindah kota dan kami sulit bertemu.

    BalasHapus
  3. Apapun itu...perpisahan karena ketiadaan yang abadi tetap terasa selama ingatan ada

    BalasHapus
  4. Aku malah phobia Anjing, baru liat ajah udah jerit, sama karena sewaktu kecil pernah dikejar anjing

    BalasHapus
  5. Semangat, Mbak! Jadikanlah ketakutan dan kelemahanmu sebagai kekuatanmu!

    BalasHapus
  6. I know how it feels WInda...dan memang benar, hanya kita yang bisa menghadapi ketakutan kita sendiri

    BalasHapus
  7. percaya sama kekuatan waktu, cepat atau lambat semua hal buruk pasti akan berlalu. Yang jelas life must go on, kan ya. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer