Cerita Tentang Ramadan, dari Yang Tidak Merayakannya

Image taken from commons.wikipedia.org
Sejak TK sampai SMA, saya bersekolah di sekolah swasta Katholik. Meskipun begitu, di sekolah saya dulu murid-muridnya sangat heterogen, bukan hanya yang beragama Katholik. Jadi, waktu SD dulu saya kirim-kirim kartu ucapan Lebaran ke teman-teman seangkatan yang beragama Islam, begitu pula mereka sebaliknya saat Natal.

Meski tumbuh di lingkungan yang sebagian besar beragama Kristiani sewaktu kecil, tapi saya sudah terbiasa banget dengan tradisi agama Islam. Pun, keluarga dari Mama hampir separuhnya convert ke Islam saat dewasa. Dengar adzan berkumandang lima kali sehari dan terbiasa dengan kegiatan tahlilan. Antar teman dekat sholat sampai masuk ke musholla gedung rektorat kampus. Ini karena saya tinggalnya di kampung dekat pesantren yang cukup terkenal di Malang. Pemandangan yang biasa kalau subuh-subuh lihat tetangga pakai mukena pergi ke masjid.

Beranjak dewasa, tepatnya saat kuliah, saya kuliahnya di universitas negeri. 95 persen teman-teman di kampus beragama Islam, begitu pula sahabat-sahabat saya saat kuliah. Jadi, tiga orang sahabat perempuan saya itu semuanya berjilbab, dan kami nggak pernah ada ngebahas apalagi ributin agama. Ngapain juga? Yang kami tau adalah kami jalani keyakinan masing-masing dan menyepakati bahwa gorengan ayam Ille di belakang kampus itu enaknya luar biasa :))

Saat kuliah, saya baru merasakan ada yang berbeda dengan bulan Ramadan. Mungkin karena lingkungan saya di kampus sebagian besar menjalankan puasa ya. Sebagai sebagian kecil yang tidak menjalankan puasa, awalnya saya canggung juga kalau mau pamitan makan siang. Tapi lama kelamaan akhirnya biasa saja, karena teman-teman saya juga biasa saja. Malah kadang anterin sambil neduh di warung. Nah, begitu sore waktunya mau berbuka, gantian saya yang anter teman-teman saya cari makan. Kami jalan kaki cari takjil dan makannya.

Ndilalah, kok mereka puasa, malah saya yang banyak jajannya - -" 

Suasana Ramadan itu benar-benar berbeda. Ada nuansa berbeda yang nggak bisa dijelaskan. Setelah bekerja ini, memang nuansanya nggak sama dengan saat kuliah dulu. Mungkin kalau di kantor, semua orang sibuk agar bisa pulang cepat. Tapi di circle pergaulan di luar kantor, masih berasa banget suasana silaturahmi Ramadannya. Yang jelas setiap kali Ramadan, saya punya kesan di hati karena hal-hal ini:


Ikut bukber meski nggak ikut berpuasa



Saya beruntung banget punya teman-teman yang bervariasi di luaran. Salah satunya yang selalu rukun dan bersahaja selama 3-4 tahun ini adalah relasi dengan teman-teman media, creative dan PR hotel se-Malang Raya. Jadi kami itu ber ... *mikir jumlahnya ... berpuluh-puluh itu pastinya disibukkan dengan pekerjaan kantor masing-masing. TAPI ... setiap kali dekat Ramadan itu pasti ada yang jadi sesi mencatat undangan bukber. Kebetulan sih memang kalau teman-teman hotel dan cafe biasanya mengundang untuk keperluan peliputan event Ramadan.

Nah, itu juga jadi alasan kami untuk silaturahmi di dunia nyata karena biasanya silaturahminya di dunia grup Whatsapp :') Senang banget, berasa ketemu saudara dari jauh!

Menyenangkannya lagi, kadang dari acara bukber itu kami kenal dengan teman-teman baru. Namanya dunia media, creative dan hotelier ya, tentu dinamis banget. Alhasil, dari tahun ke tahun makin banyak dan makin besar jumlahnya.

Sementara itu, di geng pertemanan SMA, kami berempat. Dua di antaranya beragama Islam. Jadilah saya yang menjadi seksi sibuk buat mengatur acara bukber. Ya karena memang saya perempuan sendiri di situ (dulu, sekarang sudah ada istri-istrinya hahahahah yesss, akhirnya punya teman cewek) dan saya yang punya relasi ke tempat-tempat F&B jadi lebih paham mana tempat yang cocok buat bukber.

Selama hampir 30 hari, jadwal bukber saya ada terus. Setiap hari. Literally, setiap hari dan berpindah-pindah. Hingga akhirnya muncullah celetukan, "Winda, puasa enggak, tapi bukber-nya terus." Yes, that's so me :)))

Tradisi ater-ater 

Image taken from id.wikipedia.org
Seperti yang saya singgung di atas, rumah saya itu di kampung dan dekat dengan pesantren. Jadi masih sangat kental suasana religinya, terutama untuk hari-hari besar seperti jelang Ramadan dan Idulfitri. 

Sejak kecil, tradisi di lingkungan rumah saya yang paling saya hafal adalah hantaran alias ater-ater, kalau orang Jawa bilang. Pokoknya kalau sudah banyak kotakan isinya kue apem, itu artinya sudah mau bulan puasa. Begitulah indikator sederhananya hehehehe ... Tradisi apeman ini memang lebih condong ke budaya Jawa Timur dan Jawa Tengah setahu saya.

Biasanya ater-ater apeman ini berlangsung sampai dua hari. Di rumah sudah berasa kayak pesta apem deh. The perks of living in kampung. Kalau ada teman ke rumah, suka dikasih juga sama Mama daripada mubazir. Pernah teman saya anak rantau, jarang pulang kampung. Pas ke rumah dikasih apem ater-ater ini, kemudian dia terharu karena katanya jadi inget rumah. 

Sayangnya, sudah empat-lima tahun belakangan ini tradisi ater-ater-nya berkurang. Karena lingkungan rumah saya ini perumahan keluarga sepuh, jadi sudah banyak yang meninggal dan banyak yang janda atau duda berumur yang tinggal sendiri. Bisa dimaklumi.

Belanja untuk Lebaran

Image taken from maxpixel.com
Hal turun-temurun yang saya dapatkan dari kedua orangtua saya adalah perkara membantu tanpa perlu melihat latar belakang agamanya. Membantu atas nama kemanusiaan itu, jauh lebih berharga dan tulus. Toh pada akhirnya kita semua sama di mata Tuhan. 

Setiap bulan Ramadan, di rumah pasti membeli beberapa paket kue kalengan, sirup dan sebagainya. Untuk diberikan ke orang-orang yang biasa membantu keluarga kami. Misalnya tukang sampah yang tiap hari ambil sampah di rumah atau tukang bangunan yang renovasi rumah sampai berbulan-bulan. Bukannya apa sih, sederhananya sih sebagai rasa terimakasih keluarga kami sudah banyak dibantu setahun ini.

Maka dari itu, alokasi belanja saat Lebaran memang lebih banyak ketimbang saat Natal. Ya kebetulan THR dari kantor cairnya untuk Lebaran, apapun agamanya. Jadi memang seperti sudah 'dijatahin' untuk membeli beberapa keperluan 'terimakasih' itu.

Waktu belanja untuk Lebaran itu kalau saya adalah di minggu pertama atau kedua bulan Ramadan. Karena biasanya sudah mulai banyak promo dan diskon-diskon. Pokoknya kalau iklan sirup sudah merajalela, nah! Itulah saatnya kita mulai belanja buat Lebaran ~

Oh iya, untuk barang-barang seperti kue kaleng dan sirup, memang lebih murah kalau kita belinya secara grosir. Tapi kalau untuk barang-barang yang lebih ringan untuk donasi, seperti alat tulis, saya menemukan banyak yang lebih murah di toko-toko online. Biasanya, lebih banyak diskon dan promo yang digelontorkan sama e-commerce dan marketplace selama bulan Ramadan. Salah satunya promo Ramadan Ekstra-nya Tokopedia. Jadi mulai jauh-jauh hari begini biasanya saya mulai ngelist mau belanja apa, nanti pas tanggal 25 Mei, pas harinya Ramadan Ekstra dimulai, bisa nyicil belanja online. Lumayan lah, tinggal klak-klik, barangnya langsung diantar di rumah ketimbang antri mengular di swalayan.

Meski bukan belanja untuk diri sendiri, tapi belanja untuk keperluan Ramadan itu rasanya bahagia ~

Selama lebih dari 25 tahun, saya mengalami sendiri dengan yang namanya kehidupan bersosialisasi dan bertoleransi. Dan semuanya baik-baik saja. Meskipun di beberapa situasi saya sendiri yang Kristiani, tetapi saya nggak pernah merasa takut. Mungkin karena saya berada di lingkungan pergaulan yang benar sehingga "tepa selira" dan "toleransi" bukan sekedar istilah dalam pelajaran PPKn.

Orang-orang yang fanatik itu ada kok di agama manapun. Orang baik dan jahat itu juga berdasarkan watak dan sifatnya, bukan dari agamanya. Hingga saya bisa menyimpulkan, orang-orang yang memaksakan kehendaknya agar semua orang sepertinya adalah orang yang kurang bergaul, kurang ketemu banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Karena kalau kita ketemu banyak orang, secara nggak langsung kita akan belajar yang namanya berpegang teguh pada prinsip tanpa melanggar wilayah orang lain.

Sekian, cerita tentang Ramadan dari kacamata saya yang tidak merayakannya. Bagaimana Ramadan dari pandanganmu?

Komentar

  1. Aku jg punya teman2 yg non mbk hehe. Kami juga sring gt, kadang dy nemenin beli bukaan, kdang aku nemenin dy pas makan siang. Indahnya toleransi

    BalasHapus
  2. temen saya juga ada yang non muslim tapi dia ikutan seneng kalo ramadhan datang, malah kadang jadi ikutan puasa, jadi lbih hemat katanya.hahahaha....

    BalasHapus
  3. padahal kalau rukun kan lebih enak ya win, aku juga dikantor non muslim sendiri, tapi karena semua orangnya berpikiran terbuka, kami bisa jalan beriringan tanpa masalah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer