Membangun Kebiasaan Menulis, Bagaimana Caranya?

winda carmelita
Photo captured by @prialangga | Attire by @batik_blimbing | Concept by @christabelannora | Stylish: @titisavitri

Saya masih ingat, waktu itu saya duduk di kelas 5 SD. Kelas saya berada di lantai 2, di pojokan. Setiap kelas punya 1 papan pengumuman dengan kaca geser. Kelas saya istimewa, karena punya 2 papan pengumuman. Yang satunya dipakai untuk menempel jadwal dan pengumuman-pengumuman lainnya. Sementara yang satunya, kosong.

Di masa itu, saya rutin beli majalah Bobo. Dari majalah itu saya suka banget baca-baca artikelnya dan cerpen-cerpennya (oh iya, saya dulu koleksi kumcernya sampai banyak banget). Entah dapat ilham dari mana, saya bilang ke guru saya namanya Bu Utik kalau saya mau tempel tulisan di papan pengumuman kosong itu. Eh, sama Bu Utik diperbolehkan! Semangat banget, saya pulang ke rumah, ambil kertas HVS dan beli kertas karton warna-warni. Tulisan-tulisan yang menurut saya bagus dari majalah Bobo itu, saya tulis ulang dan kasih hiasan dengan spidol dan stiker-stiker. Besoknya, saya kasih tunjuk ke Bu Utik dan ditempel lah hasil karya itu ... Yaampun senengnya luar biasa, sampai membekas di hati hingga segede ini lho :') Kemudian yang saya lakukan itu diikuti teman-teman sekelas. Saya pun mulai berani nulis puisi di situ hehehe .. Kemudian saya tahu itu namanya Mading alias majalah dinding.

Dari situlah saya mulai menulis dengan rajin. Ikutan lomba cerpen anak, masuk SMP ikutan ekskul Jurnalistik (walaupun akhirnya harus menyerah dengan kesibukan festival band), SMA saya terus menulis hingga masuk kelas Bahasa dan punya blog pertama kalinya tahun 2006/2007an. Kuliah, beberapa kali karya dimuat jadi antologi dan di Femina. Tapi sayangnya, sampai hari ini belum punya buku sendiri dengan nama saya tunggal tersemat di sampulnya.

Setapak demi setapak, hal yang saya lakukan secara konsisten sejak sangat belia dan akhirnya menjadi karir saya sekarang ini adalah menulis. Jika ditanya lebih memilih mana menulis atau bermain musik, tentu saya lebih mantap menjawab "menulis" karena alasan konsistensi itu. Dari konsistensi itulah saya yang dulunya menganggap menulis hanya sebagai penyaluran hobi, pengungkapkan perasaan, sekarang bisa jadi mata pencaharian utama. Walau saya menulis tidak independen sepenuhnya, melainkan ikut grup media online besar di Indonesia. 

Suatu hari, saya ditanya oleh seseorang yang datang di kelas sharing yang saya isi. "Saya pengen bisa menulis, tapi saya nggak tahu mulainya dari mana. Mungkin saya nggak punya bakat." Pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan beberapa teman-teman saya yang zaman skripsian mati-matian meneror saya untuk ngajarin mereka menulis karena stuck. Alasannya sama, "Aku nggak bakat menulis."

Entah, saya selalu menangkis pernyataan itu dengan jawaban yang sama, "Nulis itu nggak perlu bakat, itu cuma karena kebiasaan." Makanya saya sangat yakin setiap orang bisa menulis. Hanya saja tidak membangun kebiasaan itu. Beda dengan menyanyi menurut saya, yang tiap orang punya bawaan timbre suara yang berbeda-beda. Tapi menulis itu sama halnya bertutur, tapi yang diwujudkan lewat rangkaian kata yang dituliskan. Begitu ... 

Membangun kebiasaan menulis, caranya bagaimana?

Ada dua hal yang biasanya dinyatakan dan ditanyakan ke saya dan puluhan orang dengan profesi yang sama dengan saya, "Ajarin nulis dong!" dan "Ajarin ngeblog dong!"

Kalau ajarin ngeblog, saya bisa. Gimana mulainya? Ya tentunya kamu harus punya e-mail dulu, kemudian putuskan mau ngeblog lewat platform apa, kalau mau pakai Wordpress, baca panduan lengkap di link ini. Setelah set up blog, kalau mau domainnya dibuat top level domain, ya tinggal beli saja domainnya, misalnya beli di Hostinger. Kalau bingung, banyak tutorial di internet yang bisa dicari kok, karena membuat blog itu sekarang sudah begitu umum. Nanti kalau sudah hands-on nyobain ngisi blog pasti akan banyak penasaran dan banyak coba-coba sendiri.

Kalau ajarin menulis, ini yang menurut saya tricky. Mau diajarin menulis seperti apa, apakah soal kaidah jurnalistiknya? Kalau ini, saya sendiri masih sangat belajar dan terus belajar apalagi sekarang media sudah 3.0 yang pastinya akan berubah terus zamannya. Tapi biasanya pernyataan minta diajarin menulis itu bukan minta diajarin menulis dari sisi jurnalistik, tapi lebih ke arah membangun kebiasaan menulis.

Dan ya, ini nggak ada pakemnya. Kembali lagi, soal membangun kebiasaan itu sangat personal. Tapi kalau boleh berbagi pengalaman, ini cara saya selama bertahun-tahun membangun kebiasaan menulis yang menurut saya efektif. Sekali lagi, ini sangat personal dan ini versi saya:

Menulis daily journal

Kebiasaan ini saya mulai sejak kelas 5 SD. Menulis daily journal yang sangat sederhana, isinya kegiatan seharian ngapain aja, ketemu siapa saja. Beranjak SMP, saya menulis perasaan-perasaan saya, maklum ABG hahahaha ... Kebiasaan itu terus berlanjut sampai SMA. Buku jurnal saya dulu tebal banget, setahun nggak habis walau diisi setiap hari. Sehari bisa nulis sampai berlembar-lembar kalau pas lagi cerewet.

Menulis gratitude journal

Ini beda dengan daily journal, karena lebih pendek. Biasanya hanya 4-5 baris saja, tapi naratif bercerita soal rasa syukur hari itu. Saya masih develop kebiasaan ini sampai hari ini, biasanya saya tulis di Evernote di malam hari sebelum tidur. Ini harusnya paling mudah dilakukan untuk pemula sih, karena singkat dan dirasakan sehari-hari. Tenang, nulis jurnal itu nggak ada yang menilai salah-benarnya kok, jadi just let it flow :D

Catat .. catat .. catat

Sejak SMA sampai sekarang, saya selalu bawa buku notes kecil. Dulu saya suka tulis puisi di situ. Sekarang juga masih suka menulis di buku notes, tapi lebih ke ide-ide untuk pekerjaan atau to-do list harian. Media menulis yang lebih curhat-able dan puisi-able saya pindahkan ke digital, biar nggak gampang kebaca orang lain dan juga lebih mudah kalau mau dipindahkan ke blog.

Kenapa harus dicatat? Karena ingatan manusia itu terbatas, harus segera dicatat keburu kabur kebawa lihat baliho di jalan raya hahahah ...

Latihan free writing

Latihan menulis kesukaan saya adalah free writing. Tulis aja semua yang ada di otak dan di hati, mau typo pun nggak masalah. Saat sudah selesai, barulah dibaca dari awal, dibetulkan typo dan kata-kata yang janggal. Free writing ini menyenangkan, karena sangat membantu melatih kita untuk mengungkapkan perasaan lewat tulisan tanpa takut salah. Toh kalau pun salah, paling hanya ejaannya. Kalau dilakukan setiap hari, akan terbiasa menyusun kalimat-kalimat yang enak dibaca, seperti bertutur. 

Belajar menulis di social media

Kadang saya heran sama orang yang minta diajarin menulis, tapi sebetulnya dia kalau menulis di social media sudah bisa panjang lebar hehehe ... Sebetulnya sama saja, cuma beda medianya. Lha itu di status bisa sampai berparagraf-paragraf kok. Kalau merasa masih 'kurang', baiklah, belajar menulis dengan menempatkan kalimat yang efektif, tanda baca, penggunaan huruf kapital yang benar. Kalau lulus sampai SD, semestinya hal ini bukan hal yang susah dilakukan ya.

'Dipaksa'

Yang saya baca (dan mungkin saya sendiri lakukan tapi nggak saya sadari), membangun sebuah kebiasaan baru itu butuh waktu 66 hari dilakukan secara intens. Enam puluh enam hari menurut saya adalah waktu yang nggak sebentar. Tapi kalau kita berhasil 'memaksa' diri menjalankannya, alam bawah sadar pasti akan otomatis dan menganggapnya jadi lebih mudah. *kemudian saya mau nyoba metode ini buat jogging pagi yang masih sering bolong-bolong huhuhuhu ...

Saya memulai menulis dengan tanpa ekspektasi apapun. Saya menulis untuk menuangkan apa yang saya rasakan. Kalau sampai hari ini saya bisa mendapatkan penghasilan dari menulis, itu bonusnya. Tapi lebih dari itu, saya jadi mencintai menulis karena bagian dari self-healing, bagian dari cara membuat diri saya sendiri tetap waras. Sebuah obat yang membuat saya kecanduan, tapi tidak merugikan tubuh.

Satu hal yang selalu saya ingat soal kebiasaan menulis adalah jika saya mulai merasa jenuh, itu artinya saya bosan dengan tema tulisannya. Bukan bosan dengan kegiatannya. Lalu, saya akan tetap membuka lembaran yang baru, dan menulis hal lain untuk mengobati kebosanan itu.

Keep writing, because writing is sharing and sharing is caring~ Keep spread the good vibes!

Komentar

  1. Saya suka nulis jg pas SD. Gara2 cerpen pas Bahasa Indonesia. Selalu dapat nilai bagus. Lanjut nulis2 di buku sendiri. Terus pas SMA dapat e-journal. Lanjut ke blog. Sampai sekarang deh.

    Memang kadang harus dipaksa juga sih. Tfs yak...

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer