Life Before 30: Cerita Sederhana Tentang Membeli Sepotong Celana Yang Terasa Tak Sama Lagi

Image taken from pexels.com
Sampai ke titik ini, saya merasa banyak hal yang berubah dari diri saya. Saya masih ingat banget, umur 21 tahun saya bertanya ke teman saya,
"Gimana rasanya jadi umur 25 tahun, Mas?"
"Fisik masih sama, tapi yang berubah ya pola pikir kita." 
Umur 21 tahun, saya masih jumawa. Jawaban teman saya itu saya amini di chat Whatsapp, tapi saya 'cibir' dalam hati, "Ya itu kamu aja 'kali, Mas, aku sih kalau nanti usia 25 tahun ya tetap dong begini ... (insert segala cita-cita membumbung tinggi nan idealis)"

Waktu itu, saya menganggap semua hal punya patokan IDEAL yang tidak bisa diganggu gugat, seideal "Harusnya 'kan begini ..", "Harusnya 'kan begitu ..." Di usia itu saya sibuk menghasilkan apa-apa yang saat itu saya pikir, akan bisa berjalan sesuai dengan rencana saya ke depannya. Saya mengisi usia-usia early twenty dengan semangat tinggi berkarya, menghasilkan uang sendiri untuk jajan, berteman dengan banyak orang, patah hati ... dan betapa saya merasa banyak hal yang harus dan ingin saya kritisi. Sebutlah fase-fase hidup itu sebagai fase "angry woman" atau fase "I'm not a girl, not yet a woman." Matangnya masih setengah-setengah.

Empat tahun berselang dari pertanyaan itu, ternyata banyak hal yang terjadi. Bukan sekedar 'terjadi', tapi benar-benar menampar telak. Ketika saya menginjak usia 25 tahun itu, saya merasakan sendiri begitu banyak hal yang berubah dari bagaimana saya memandang hidup, diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya.

Sesederhana cerita ini:



Sejak beberapa bulan lalu, saya menyadari bahwa banyak pakaian-pakaian yang sudah tidak muat dan tidak lagi saya sukai modelnya. Saya mencoba untuk menyortirnya sedikit demi sedikit hingga menyisakan baju-baju yang saya pakai teratur dan sekiranya saya butuhkan di occassion tertentu. Saya pernah menulisnya di blog ini tentang kegiatan sortir-menyortir itu.

Setelah disortir, ternyata saya hanya menyisakan sedikit bawahan yang masih saya simpan. Salah satunya adalah celana yang setelah saya amati, lha kok sudah berlubang. Ya memang modelnya ripped jeans, tapi rippednya kelewatan aliasn beneran sobek.

Saya pun mengingat-ingat, oh iya, saya masih punya voucher belanja yang cukup untuk dibelikan celana. Long short story, saya pun berangkat ke store dengan berbekal voucher tersebut. Di store saya melihat ada banyak banget pilihannya, dari celana pendek wanita terbaru sampai yang modelnya sobek-sobek total kayak celana saya yang lama. Saya ambil satu celana yang harganya cukup lumayan, meski ditebus dengan voucher tetap harus menambah sekian ratus ribu.

Sambil berkeliling saya, lihat-lihat lagi. Kemudian saya ingat, Mama saya itu sudah lama nggak punya celana yang nyaman. Saya lihat tag harganya, nggak sampai separuh harga dari celana yang akan saya miliki. Rasanya saya jadi kalut sendiri. Kalau beli celanaku sendiri dan celana Mama, kayaknya boros banget. Kalau beli hanya celanaku sendiri, Mama nggak punya celana lagi yang bisa dipakai buat bepergian. Setelah menimbang-nimbang, saya taruh celana pilihan saya itu dan ambil dua celana yang sama persis, dengan harga yang lebih murah. Satu untuk saya, satu untuk Mama.

Mungkin dulunya jika dihadapkan dengan masalah sederhana ini, saya akan langsung aja ngacir ke kasir dan bayar celana untuk saya sendiri. Tapi setelah banyak hal yang terjadi di hidup saya 4 tahunan ini, saya merasa kalau saya bahagia sendiri, itu sama saja hampa.
---
Cerita saya ini mungkin remeh dan terdengar klise nan konformis. Tapi itu yang benar-benar saya alami dan pikirkan. Hal lebih besar, tentu masih banyak lagi. Soal keputusan tetap tinggal di suatu kondisi meski ada kondisi lain yang terlihat cemerlang di depan, itu juga hal yang sudah saya makan beberapa kali. Kecewa, pasti. Tapi ada hal-hal yang tidak bisa ditukar dengan jabatan dan uang, dan saya tidak mau menyesal nantinya.

Padahal hanya cerita soal sepotong celana saja ya, tapi bisa sepanjang dan seserius ini? Hehehe .. Iya, karena setiap hari kita belajar soal kehidupan 'kan :)

Komentar

  1. mbaa :"")
    aku kena di "kalo bahagia sendiri rasanya hampa"
    iya sekarang aku udah jarang beli barang2 buat diri sendiri. lebih banyak beli untuk keluarga. rasanya lebih rewarding membagi kebahagiaan yang kita punya dengan orang2 terdekat MESKIPUUUUNNNNN habis itu tetep dipisuhi karena belanjaan jadi banyak huahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer