Gara-gara Gigi: Cerita Operasi Gigi (Odontektomi) - Part 1



Kalau ada yang bilang sakit gigi itu lebih sakit daripada sakit hati, sini sini, tak cabut giginya. Hahaha ... Pernah merasakan ditinggal menikah dan ditinggal tanpa kabar tau-tau pacaran sama orang lain dan putus kontak sampai hari ini, itu semua ditinggal bobok semalam sama makan enak, udah lumayan bisa enteng perasaannya. Masalahnya, kalau sakit gigi itu ditinggal bobok semalam, gak bisa. Mau makan enak, tambah nggak bisa. Yang ada malah keluar duit banyak pula buat perawatan. Sedihnya triple lah.

Jadi, beberapa hari yang lalu saya menjalani odontektomi alias operasi gigi dalam rangka pengangkatan gigi yang impaksi. Gampangnya, ada gigi geraham bungsu yang tumbuhnya kurang seiring sejalan dengan kodratnya. Kasusnya sih macam-macam ya, tapi kalau kasus saya ini tumbuhnya si gigi geraham bungsu ini miring, nyundul sebelah-sebelahnya. Kemudian, layaknya toxic relationship, dia semacam bikin masalah melulu, menguras hati.

Desember 2017: Halo, Wisdom-Teeth-yang-Tidak-Wisdom-Wisdom-Amat, Nice To Meet You

Kita akan flashback ke tahun 2017, bulan Desember tepatnya. Cerita ini saya tulis di blog pribadi, jadi detilnya masih inget hahaha ...

Suatu pagi, saya ngerasa gigi geraham kiri bawah saya itu sakit. Mau mingkem itu rasanya ada sesuatu yang tumbuh di bawah gigi itu dan nyut-nyutan. Karena tambah siang itu gigi tambah sakit, saya jadinya nggak bisa konsen kerja. Langsung lah saya kontak Gina. Gina itu dulu teman SD saya, yang ndilalah sepupunya nikah sama sepupu saya, dan sekarang Gina adalah dokter gigi. Pas banget, prakteknya di Persada Hospital, dekat sama ex-kantor saya dulu.

Setelah observasi, akhirnya gigi saya cuma dibersihkan dan sedikit dibor. Pas dibor sih malah gak sakit ya, diambil saraf yang mati juga saya masih bisa tenang. Justru saya mau nangis pas kumur terus gigi geraham kiri bawahku itu kesenggol. Ya Tuhaaan, rasanya sungguh emosional sakitnya *gebrak meja

Dugaan awal, karena gigi geraham kiri bawah itu cuil. Beberapa bulan sebelumnya, saya makan trus tiba-tiba aja dia pecah. Tapi nggak sakit waktu itu. Memang sih kualitas tulang dan gigi saya itu kurang bagus. Yah, jadi dugaan awalnya sakitnya karena itu. Yodahlah, karena sakit banget jadi gak bisa dilakukan tindakan apa-apa. Setelah dibersihkan, dikasih obat pereda sakit dan disuruh balik 1 minggu setelahnya.

Tapi saya nggak balik karena ribet ngurus faskes 1 BPJS-nya. Dari Dr. Sri ke kliniknya Gina, untuk pindah faskes BPJS itu harus nunggu bulan depan baru bisa dipakai. Yodahlah aku bertahan aja, daripada pindah lagi ke Dr. Sri yang tegas nan ngeri itu (yang bikin aku abis lepasin tambalan gigi, trus gak mau datang lagi ke sana sampai 2 tahun kemudian, karena orangnya nggak friendly kalau nanganin pasien).

Rupanya gigi saya tuh marah karena jadwalnya balik kok gak balik. Mungkin juga karena saya kecapekan habis liputan seharian di JTP, malamnya si gigi berontak lagi. Sakit lagi persis kayak kejadian awal. Besoknya saya maksain kerja tapi suakiiiit banget. Karena gak tahan, saya WA lah Gina dan curhat banget kalau gigiku sakit. Eh, kok untungnya Gina ada di Persada Hospital. Langsung saya disuruh ke sana.

Long short story, 'kan memang asuransi dari kantor (waktu itu) gak meng-cover pengobatan gigi. Gina putar otak buat ngakali gimana caranya supaya pengobatan hari itu nggak makan biaya banyak. Maklum ya, ngobatin gigi 'kan mahal banget memang. Akhirnya diputuskanlah sama Gina, buat foto rontgen aja di Persada, sama perawatan awal karena darurat ketimbang sakitnya menjadi-jadi. Buat biaya konsultasi dan beberapa obat, sama Gina gak dimasukkan ke bill. Yodah, sepakat. Sisa perawatannya dilakukan di klinik besok-besoknya.

Setelah observasi awal, aku langsung foto rontgen gigi. Yaampun, ternyata foto rontgen gigi itu gak enak pake banget, soalnya part masukin card-nya ke mulut itu kudu menekan bagian bawah lidah yang mana rasanya bikin pengen muntah. Tapi akhirnya berhasil setelah maksain buat melemaskan bagian lidah biar mudah.

Setelah foto, disuruh balik ke ruangan praktek Gina. Ketauanlah itu dosa-dosa gigiku. Ternyata nyut-nyutannya bukan karena berlubang. Si gigi yang berlubang itu justru jadi gigi yang innocent. Dia berdiri teguh dan tegar bagai karang walau kondisinya gak cakep. Yang justru bikin nangis itu si geraham bawah kiri yang gak ada lubangnya (tapi gupil) karena akarnya yang kesundul-sundul gigi sebelahnya. Posisinya semacam doyong begitu. Ini yang bikin sakit! Dan dari situ juga ketahuanlah bahwasanya ada impaksi gigi juga di geraham kanan bawah. Makkk ...

Gina langsung ambil bor dan mau membersihkan kotoran-kotoran di sekitar gigi geraham bawah kiriku. "Gin, pokok'e lek sakit mandeg o lho yo! Iki suakit sumpah," kataku. "Ohhh yo kamu malah tak bius sampe semaput!" Bhahaha sialan! 

Mungkin karena sama temen a.k.a sodara sendiri, jadinya saya merasa lebih rileks. Eh, ternyata pas dibor, gigi itu sama sekali gak sakit. Gigiku sengaja kayak dibebaskan gitu dengan dibor agak dalam. Tujuannya mengeluarkan bakteri yang bikin sakit, udara dan abses yang terjebak di dalamnya. Karena gak sakit, Gina pun lanjut terus mengukrek-ukrek itu gigi. Karena posisi tidurku bener-bener 180 derajat, aku cuma merasa sesekali clekit-clekit gitu. Ternyata ... diukrek-ukrek pakai jarum euy! :'))) *cekek Gina. 

"NAH INI SING BIKIN GIGIMU SAKIT! SIK YO!" kata Gina dengan semangat 45. Ternyata yang ditarik adalah saraf yang terinfeksi. "EH INI PISAN! SIK YO DIEM O, LEK SAKIT BILANG O!" Dang!! Ditariklah kemudian sesuatu dari mulut, bentuknya kayak gumpalan.

Ndilalah, setelah perjalanan mengukrek-ukrek gigi yang kedengarannya bikin ngilu itu, saya justru nangis dan muntah gara-gara ... yak, gara-gara NaCL! Sial memang. Jadi disemprotkan NaCL dan Aquades 'kan, mungkin buat menghentikan darah yang mengucur keluar ya. Rasanya NaCL ini sungguh jahanam. Gak enak blas! Perih, asin, pahit. Saya sampe keselek. Keselek kaget sama rasanya yang maha biadab itu. Duh, keseleknya sampai muntah, kayak gak bisa nafas. Aku kumur-kumur terus dan masih kerasa itu rasa NaCL-nya di tenggorokan. Panas. Haiiissh, mana beberapa hari yang lalu 'kan saya abis radang. Rasanya itu radang di tenggorokan kayak disiram bensin aja :')))))



Akhirnya perawatan dihentikan sama Gina. Saya disuruh minum teh kotak sama makan permen karet buat menetralisir rasa gak enak di mulut. Sambil ngobrol-ngobrol, dijelaskan posisi gigiku yang bandel itu. Intinya, ada gigi yang harus dicabut demi kemaslahatan bersama. 

WHAT? DICABUT? GAK ADA PILIHAN LAIN APA? 

Ternyata, memang gak ada pilihan lain. Gina itu bukan dokter gigi penganut dikit-dikit-dicabut-aja. Tapi buat kasusku ini, memang sebaiknya dicabut karena gigi belakangnya terus mendesak. Kalau gak dicabut, akarnya ketekan dan akan bengkak lagi dan lagi. Khawatirnya jadi kista. Setelah dicabut, niscaya semua masalah akan kelar ...

Dan berakhirlah kisah observasi gigi itu dengan menebus sejumlah Rp500 ribu sekian yang nyatanya tak bisa dicover asuransi, BPJS atau pun reimburse ke kantor (waktu itu) WASSALAM, ANDA MASIH PUNYA TANGGUNGAN SEKIAN JUTA BUAT CABUT GIGI DAN BIKIN GIGI BARU ATAU BEHEL, WIND! *setan-setan rekening tertawa kegirangan

Lanjut ke part 2

Komentar

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer