Menantang Abu Vulkanik Sepanjang Jarak Ijo - Jemplang, Bromo


Sejak kecil, di keluarga saya punya kebiasaan menjelajah alam. Maka tak heran peralatan camping dan adventuring milik almarhum Papa tergolong lengkap. Bahkan keluarga kami pernah punya kano lho, meski saya tidak pernah tahu kano itu kapan dan di mana dipakainya :p Tahu-tahu sudah jebol saja dan sudah dibuang.

Kembali lagi ke pembahasan, jadi karena keluarga saya suka menjelajah alam dan sudah dibiasakan sejak kecil, acara trekking dan hiking menjadi acara yang biasa dilakukan. Dulu sempat rutin tiap minggu ikut klub hikingnya Papa. Beranjak dewasa, justru saya mandeg. Bahkan saya nggak ikutan Mapala di kampus dan memilih tenggelam dalam kegiatan menulis dan bermusik.

Tapi ... namanya dulu terbiasa kemudian berhenti, rasa kangen itu pasti ada. Makanya, di bulan Desember kemarin seorang teman baik saya sejak TK, Ivan, mengajak saya untuk trekking ke Jarak Ijo. Buat yang belum tahu, Jarak Ijo adalah sebuah dusun yang terletak di dalam hutan di Desa Ngadas. Desa Ngadas? Jangan ngaku travelling yang menjelajah Bromo kalau belum pernah menginjakkan kaki ke dua tempat ini deh. Nah, dusun Jarak Ijo ini letaknya sekitar 2000-an mdpl. Bolak-balik ke Bromo lewat Jemplang tapi belum pernah cicipin sejuknya dusun Jarak Ijo membuat saya langsung mengiyakan ajakan Ivan tanpa pikir panjang. Yuk! "Kita berangkat 10 Januari ya, Wind, kujemput jam 05.00."

Tibalah hari yang dinantikan. Media ramai memperbincangkan Bromo yang lagi batuk-batuk hebat. Dari 16-an orang, akhirnya yang berani berangkat dari tim kami hanya 6 orang. Lalu, 2 minggu sebelum berangkat kemarin, lutut kiri mengalami cedera ringan (akibat pecicilan, kata dokternya). Tapi ya saya nggak ambil pusing lah, tetap berangkat. Nekat, selalu nekat kalau bepergian mah saya ini orangnya. Pokoknya perbekalan aman: baju ganti, sepatu yang proper, topi, perbekalan, decker, masker.

Ready to go | Image taken by Winda Carmelita




Sekitar jam 06.00-an kami cabut bersama beberapa rombongan dari teman-teman ayahnya Ivan. Begitu sampai di meeting point yang tak jauh dari Coban Pelangi, kami yang muda-muda ini *caelah* penasaran sama Coban Trisula. Mumpung masih cerah. Turun ke Coban Trisula memakan waktu kurang lebih 30 menit PP. Eh, ternyata cobannya kecil hahaha ... Okelah langsung cabut ke Jarak Ijo.

Perjalanan dari Jarak Ijo ke Jemplang itu sekitar 7 km. 3-4 km pertama, medannya beraspal dan jalannya datar. Aman. Pemandangan dari sini sangat bagus! Ketika kemarin saya trekking ke sana, abu-abu memang betebaran sepanjang perjalanan. Ditambah dengan mendung dan hujan. Bisa ditebak, selimut kabut tebal melingkupi daerah ini. Darah saya berdesir. Pemandangan yang ada di depan saya sungguh mistis: hutan pinus rimbun dengan pohon pinus tinggi besar dinaungi kabut tebal dan suasana dingin. Ini pertama kalinya dalam hidup saya melihat langsung pemandangan seperti di film-film Lord of The Rings begini.

Campuran abu, hujan gerimis dan kabut | Image taken by Winda Carmelita
Nah, kami tak hanya sekedar trekking tapi juga memungut sampah-sampah sepanjang jalan. Perjalanan jadi lebih capek. Sampah-sampah yang kami kumpulkan bisa dapat lebih dari 5 kresek penuh. Gila memang, manusia yang katanya produk ciptaan Tuhan paling mulia, bisa tega merusak alam dengan apa yang mereka produksi sendiri. Wong bawa pulang balik sampah lalu dibuang di tempat yang seharusnya juga nggak berat kalau itu sampahnya sendiri :| Sedih banget melihatnya. Mbok ya sangu plastik atau karung kalau tahu tempat tersebut bukan tempat wisata yang banyak disediakan tempat sampah.

Yang ditemukan di awal keberangkatan saja sudah segini | Image taken by Winda Carmelita

Jalan sambil memungut sampah plastik | Image taken by Winda Carmelita
Singkat cerita, perjalanan jadi lebih capek dari biasanya. Tapi saya terhibur karena banyak lahan-lahan yang dipenuhi tanaman bawang, bunga mawar dan sesekali saya ketemu dengan bunga edelweiss. Sempat mencium aroma sambal goreng dan saya nyeletuk ke teman saya, "Enak kali ya gini makan sambal sama pete trus ikan asin. Makannya sama nasi panas kebul-kebul." Hiyaaah, makin lapar dong, perjalanan masih jauh. Kami pun beristirahat di pos dekat SDN Ngadas 02.

(Baca juga : #HelloWINDxWeekend Tentang Misteri Dibalik Makan Mie Instant Sebulan Sekali)

Titik pos ini sekaligus menjadi titik di mana perjalanan yang lebih berat akan kami lalui. Masih ada 4 km-an lagi yang harus ditaklukkan dengan medan yang ... uh, ehm, nanjak, cyiiin. Awalnya sih kami bisa ngobrol-ngobrol di sekitar 500 m - 1 km, setelahnya boro-boro mau ngobrol. Udara aja berebut sama kabut. Jalannya juga makin menanjak. Jarak pandang semakin terbatas tertutup kabut. Suasana benar-benar sepi.

Kabutnya setebal ini | Image taken by Winda Carmelita
Saya, sibuk dengan pikiran saya, tak terasa saya jalan sendiri di depan meninggalkan teman-teman saya. Begitu noleh, LHO! KOK PADA ILANG! Agak panik sih, tapi untungnya di depan ada 1 orang lagi. Lega, saya terus menggerakkan kaki hingga tiba pada area yang mana hanya cukup dilewati satu orang. Kiri-kanan pepohonan rimbun. Sesekali berhenti minum dan mengatur nafas. Maklum, stamina mulai menurun meski kaki mulai terasa ringan dan mampu beradaptasi. Tapi, orang di depan nggak tampak~ Ahelaaah, saya terpaksa jalan lebih cepat di tanjakan hahaha .. Insecure dong, mengingat waktu kecil dulu nggak sekali tersesat (tapi saat itu tersesatnya bareng Papa sih, jadi nggak begitu panik).

*part ini nggak ada fotonya karena ... udah nggak sempet foto, keburu lelah*

Jarak 7 km ternyata bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 4,5 jam dengan sesekali berhenti berhenti. Begitu sampai di finish, sudah ada teman-teman dari ayahnya Ivan yang mendirikan tenda. Nah ini istimewanya, di tenda finish sudah tersedia 2 kontainer penuh berisi bir dingin dan beberapa botol wine. Rasa capek langsung terbayar. Apalagi udara dingin menggigit tulang, paling pas dihangatkan dengan sebotol bir.

(Baca juga: #HelloWINDxWeekend Jalan-Jalan Random Sehari Ke Batu)

Botol kloter pertama teman makan yang nikmat | Image taken by Winda Carmelita

Tak lama kemudian teman-teman datang satu per satu. Kami pun mengisi perut dengan nasi goreng, bakso babi hangat, sate jerohan ayam, krengsengan babi kecap, berbagai cemilan semacam keripik jagung dan kacang kulit. Kami pun mengobrol-ngobrol banyak tentang kegiatan saat ini dan sesekali bernostalgia masa-masa sekolah dulu. Adakah yang lebih nikmat daripada menikmati alam bareng sahabat-sahabat lama, sebotol bir dingin dan makan hidangan super lezat langsung di alam bebas?

Kurang hangat, angetin pake yang ini | Image taken by Winda Carmelita
Well, sekitar jam 17.00 kami turun dan pulang ke Malang dengan bawa mobil dan baju kotor akibat abu vulkanik Bromo.

Ini masih abu yang minimal, sehabis hujan lebih parah lagi | Image taken by Winda Carmelita
Perjalanan ini mengajarkan saya suatu hal penting. Seringkali saya meragukan diri saya sendiri. "Gile, mana kuat jalan segitu, lama nggak olahraga~" atau semacam "Gak bakal kuat nih, balik aja deh." Ternyata saya adalah orang kedua yang sampai di finish and I'm the first woman in the line. Meski saya lama nggak trekking, ternyata endurance saya masih oke untuk berjalan tanpa jaket di hawa sedingin itu hehehe ..

Alam ciptaan Tuhan tak pernah gagal menunjukkan keindahannya ya.




Sepertinya tahun ini harus lebih sering mencium aroma alam nih!

Note:

  1. Pastikan sepatu kamu nggak licin dan nggak ndrawasi. Sepatu saya merknya Reebok, dipakai trekking ringan sih sehat. Begitu dipakai trekking agak menantang kemarin langsung rontok lem solnya karena gerakan telapak kaki yang terlampau 'meliuk-liuk' di jalan tanjakan (yah, beli sepatu lagi deh T___T)
  2. Ini penting banget, bawa bekal perjalanan sedikit saja tapi pastikan mengandung banyak gula. Kemarin kami bawa roti isi kismis dan gula. Cukup untuk cadangan energi selama 4,5 jam lah. Kalian bisa bawa cokelat bar atau permen. Nggak perlu bawa nasi Padang lho ya :))
  3. Jangan pergi sama temen yang manja :p
  4. Terlepas dari prinsip pribadi masing-masing orang, buat saya minum bir atau wine cukup membantu mengatasi suhu yang cukup dingin. Karena saya punya alergi dingin yang mana memunculkan bentol-bentol, saya merasa sangat terbantu.

Komentar

  1. Beuhh.. Pemandangannya kece juga meski diselimuti kabut gitu. Kasihan ya yang buang sampah sembarangan itu, mereka masuk kategori orang ga punya tanggung jawab. Barang kecil aja ditinggalin gitu aja, apalagi barang gede. Hmmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Sil, itu padahal hal mendasar nan sepele, kalau ngaku anak alam tapi nggak paham ya kebacut :(

      Hapus
  2. keren banget lagi banyak abu gitu naik ke gunung. salut

    BalasHapus
  3. Gilaaa bagus banget pemandangan gunung tertutup kabutnya! makin banyak catatan perjalanan mendaki gunung nih tahun ini kayaknya hehehe

    BalasHapus
  4. Nyesel aku...kok lair duluan...jaman mudaku kemana aja yaa...kok gak mudeng ada alam seindah ini.... :(

    BalasHapus
  5. Aku ke Bromo kemarin lewat mana ya? Ntar tak tanya suami hahaaa, soalnya pasrah sama mas drivernya aja sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lewat Nongkojajar mungkin Mak, yg paling familiar jalannya :)

      Hapus
  6. dulu sekali aku pernag, mau deh ke sini lagi pingin lihat ada perubahan dalam fasilitas dan prasarananya

    BalasHapus
  7. aku belum pernah naik gunung, paling naik sampai air terjun itu juga deket

    BalasHapus
  8. Wah, seru banget baca kisah trekking Mba Winda, lho! Keren ih, bisa jadi the first woman in the line yang sp ke garis finish. :) Asyik banget ya, Mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asik banget Mak, jalannya ngebut sambil ngelamun jadinya nggak kerasa udah di depan aja huehehehhe

      Hapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer