Life Before 30: Choose Your Squad Wisely


Kata penelitian, semakin dewasa lingkaran pertemanan kita akan semakin mengerucut. Kita akan lebih nyaman menghabiskan waktu dan bercengkrama bersama orang-orang tertentu saja.

Dulunya saya pikir hal itu sangat shallow. Dalam pemikiran saya, semakin dewasa seseorang, harusnya makin banyak teman. 'Kan interaksinya semakin bertambah.

Tapi, setelah memasuki usia pertengahan 20-an, saya harus menelan kenyataan bahwa ... kata penelitian itu benar. Sangat benar. Semakin dewasa mungkin saya lingkar relasi kita semakin besar, tapi lingkar pertemanan baik itu akan semakin mengecil. Banyak hal yang akhirnya secara tidak tertulis diamini dalam sebuah hubungan pertemanan, yang akhirnya shaping up model pertemanan baik itu sendiri.

Saya jadi pengen cerita tentang pertemanan baik saya dengan empat orang laki-laki ini. Bagas, Putra, Nuga adalah orang-orang yang dengan mereka saya menghabiskan masa SMA sampai hari ini. Dengan Putra, saya sudah berteman sejak SD malahan. Kalau Bagas dan Nuga dipertemukan di SMA. Bagas kenalnya gara-gara satu kepengurusan OSIS, sementara Nuga adalah teman sekelas saya yang paling-paling-paling bandel (sampai sekarang).

Saat SMA kami memang jarang runtang-runtung bareng. Tapi banyak kegiatan yang mempertemukan kami, terutama untuk hal yang berhubungan dengan art dan outdoor activities.

Kami pernah ikutan live in bareng waktu SMA, di sebuah desa di Lumajang selama semingguan. Karena di sana nggak ada hiburan, nggak bisa bawa HP, provider telekomunikasi yang nyantol di sana cuma telepon CERIA yang model iklannya Dewi Persik itu dan listrik cuma dari jam 18.00 sampai 21.00 saja. Otomatis, main sama teman adalah hiburan. Kebetulan kok rumah induk semang saya itu di depan rumah induk semangnya Nuga, cuma dibatasi kandang sapi. Sementara Putra kalau mau mandi dan BAB harus numpang ke rumah induk semang saya karena di rumahnya sendiri nggak ada kamar mandi. Sementara Bagas rumahnya paling jauh tapi suka curi-curi main juga. Berempat kami dulu main-main ke pantai melulu, kehujanan pula. Seingat saya itu sih momen-momen di mana kami berempat mulai akrab.

  

Selepas sekolah, kami masih bersama-sama walau beda universitas dan beda kota. Cuma saya dan Bagas yang satu kampus, satu jurusan, tapi beda kesibukan. Saat itu juga kami ikutan dalam organisasi NGO yang sama walau cuma 2-3 tahunan sebelum sibuk dengan kegiatan akademik kampus masing-masing.

Selepas kuliah, semuanya kembali ke Malang. Seneng banget dong! Tahun-tahun awal semuanya pada di Malang, kami masih sering itu road trip dadakan. Ke Banyuwangi, ke Baluran dan yang terakhir pergi jauh agak gila karena hampir 48 jam kami melek di jalan adalah rute Malang - Baluran - Pulau Menjangan - Surabaya - Malang.



Seiring dengan kesibukan di pekerjaan dan kehidupan pribadi, main-main jauh itu hanya jadi wacana. Palingan saya yang waktu itu lulus duluan, jadi pelipur laranya Bagas yang lulusnya telat. Masih inget tuh, saya diculik sore-sore sama Bagas, beli terang bulan dimakan di taman depan stasiun kemudian kegalauannya dilanjutin dengan ngebir entah berapa botol habisnya di rooftop Houtenhand dan berakhir dengan ... besoknya saya flu dua hari hahahahhahaa !! Sama Putra juga. Saya dengerin cerita Putra yang lagi dalam usaha mendekati Cesa (sekarang sudah jadi istrinya lho!). Kalau si Nuga kalau pulang ke Malang suka nagih dibuatin tempe kacang goreng buatan Mama saya atau andok makan nasi goreng Mas Sulis di pertigaan kalau malem-malem. Pun kami jarang juga ngobrol di grup Whatsapp, tapi pengennya ya langsung ketemuan saja biar lebih afdol kangen-kangenannya~

Bersama mereka, satu hal yang saya dapatkan adalah menyoal keberanian. Bagas ngajarin nyetir mobil, Nuga ngajarin ganti ban mobil dan masang kail pancing, sementara Putra menyemangati buat berani terjun ke laut untuk snorkeling (saya nggak bisa berenang, btw).



Nggak ada yang istimewa dalam perlakuan-perlakuan mereka selama ini. Boro-boro romansa kayak di film-film, orang kebelet pipis di pantai pas maghrib-maghrib, kamar mandinya mencar biliknya, mana pernah ditemenin. Tapi bersama mereka selalu menyenangkan dan seru. Karena di balik segala hal-hal soal ke-pria-an yang hakiki, sebetulnya ya mereka cukup care satu sama lain sih. Bagas dulu pernah menemani saya berjam-jam di UGD waktu almarhum Papa sedang parah-parahnya. Pun Putra adalah orang pertama yang menghubungi saya waktu Papa menghembuskan nafas terakhir.

And now ... Time flies so fast. Nggak pernah terasa, dari berempat sekarang anggota 'keluarga' kami makin banyak. Bagas dan Putra sudah menikah, memboyong istri-istri mereka, Clara dan Cesa, ke dalam 'keluarga' kecil ini. Pun Nuga yang juga sudah kenalin pacarnya, Arin, kepada kami semua. Eh ada bonus Alembul, bayi gemas anaknya Bagas dan Clara yang selalu jadi bahan uyel-uyelan bersama.



Kalau dulu saya ke mana-mana jadi satu-satunya perempuan, sekarang sudah punya teman. Seneng dong! Karena ternyata pasangan-pasangan teman-teman baik saya ini orangnya juga nggak jauh beda karakternya sama saya. Bahkan Clara, istrinya Bagas itu, lingkaran pertemanan zaman kuliahnya beririsan dengan lingkaran pertemanan saya juga.

Dulunya bersama pria-pria ini ngobrolin tentang harga tenda, sepatu boots lah, jam tangan tahan air lah, sekarang saya punya 'tandem' ngobrolin hal-hal yang lebih ke dunia perempuan. 'Kan dulu nggak bakal pernah kebayang di geng ini bakal ngobrolin harga ikan kiloan di Gresik lebih murah daripada di Malang, gosipin merek baju bayi yang harganya waow-waow, model baju bayi perempuan -nya artis-artis yang audjubilah ngalah-ngalahin bajunya orang gede,  bahkan sampai setiap ke toko perlengkapan bayi saya selalu pengen masukin semua baju bayi yang gemas-gemas ke keranjang buat Ale.

Mungkin sekarang ini saya malah jarang berinteraksi dengan teman-teman laki-laki saya, tapi lebih banyak juga ngobrolnya sama istri-istri (dan pacarnya) mereka :))

Sejak awal pertemanan, seperti ada kesepakatan tidak tertulis bahwa kami tidak akan cross boundaries satu sama lain. Mendukung, pasti dan harus. Menanyakan kabar dan kondisi, tentunya. Sesekali memberikan pandangan kalau ada yang punya masalah, iya. Tapi tidak berusaha mencampuri keputusan-keputusan yang dibuat teman kami. It's her/his choice. Udah pada gede kok, pasti lebih butuh perenungan dengan diri sendiri ketimbang diceramahin orang lain 'kan? Hehehe ...

Mereka adalah role model sukses bagaimana saya berteman dengan lawan jenis. Saya berusaha untuk mengenal pasangan teman-teman yang dekat dengan saya, karena nggak mau ada curiga-curigaan. Apalagi kalau lingkaran pertemanannya jumlahnya sedikit, memang potensial jadi pemantik kecemburuan dan kecurigaan.

Intinya, pertemanan, apapun itu bentuknya, semakin dewasa harus paham batasannya. Bukan berarti batasan ini jaim-jaiman ya, tapi paham sampai mana hal-hal yang boleh dan tidak dibahas atau pun disinggung. Apalagi pertemanannya lawan jenis. Kalau memang sedari awal mau ada 'agenda', ya segera dijelaskan dan diutarakan. Kalau tiba-tiba di tengah-tengah ada rasa, selama masih sama-sama single ya segera diperjelas maunya apa. Kalau jadi cinta, dan keduanya saling menerima, ya syukurlah. Kalau tidak, ya jangan jadi musuh, toh dicintai 'kan jauh lebih baik ketimbang jadi musuh. Kalau memang suatu hubungan pertemanan tidak bisa dipertahankan, ya sudah relakan sebagai pembelajaran :)

Di usia sekarang ini, semakin sulit memiliki orang-orang yang bisa dipercaya dan tulus. Ketika memilikinya, meskipun sedikit, mari disyukuri dan dipelihara dengan baik relasinya. Kalau ada yang tidak cocok, wajar. Namanya saja beda pribadi. Tapi jangan sampai jadi konflik. Kalau pun memang hubungan sudah terlalu tidak sehat, ya ikhlaskan saja daripada menambah penyakit di hati :)

So, choose your squad wisely!


Caption Clara buat foto ini, so thoughtful "Karena teman-teman baik suamimu, adalah teman baikmu juga."

Komentar

Postingan Populer