Tiap Kondisi Berbeda, Nggak Semua Orang BISA Menabung


Image taken from pexels.com/Oleg Magni

Mungkin banyak hal yang menyadarkan kita semenjak pandemi Covid-19 ini merebak. Mulai dari yang merasa bahwa sebetulnya kerja online itu bisa banget dilakukan, harus hidup sehat, kebersamaan keluarga dan orang-orang terdekat yang ternyata mahal harganya ... dan nggak terkecuali, masalah keuangan.
Sudah lebih dari dua bulan kita terpaksa di rumah saja supaya penularan virus Covid-19 ini tidak makin menjadi-jadi. Yang paling terasa, tentu saja, masalah perekonomian.

Memang, masa pandemi Covid-19 ini bikin kita sadar soal betapa berartinya nilai uang saat kita semua tak punya daya seperti dulu untuk bekerja dan menghasilkan uang. Teman-teman saya pun banyak yang terdampak. Dari yang bisnisnya harus tutup total, berusaha menjalankan tapi terkendala operational cost yang ternyata lebih besar dari pendapatan harian, unpaid leave hingga di-PHK.


Dari obrolan dengan banyak orang selama dua bulan ini, teman-teman yang jadi karyawan perusahaan mengaku cuma punya tabungan untuk mencukupi kebutuhan hidup selama satu bulan saja. Sementara pemilik-pemilik bisnis kecil, cuma sanggup bertahan sampai tiga bulan ke depan dan masih benar-benar mengusahakan memberi THR dan bingkisan untuk Lebaran. 

Situasi sulit, buat semua orang. Sepertinya di masa ini, nggak ada orang yang benar-benar 'aman'.

Memasuki bulan pertama, saya mulai banyak melihat saran-saran keuangan yang seliweran di timeline. Salah satunya mengenai tabungan dan dana darurat. Langsung saya cek-cek dana darurat kemudian agak bernapas lega karena ... kira-kira cukup lah dengan kondisi sekarang yang anu, sampai anu bulan ke depan.

Tapi kemudian saya baca sebuah twit, yang bikin saya sadar. Bahwa nggak semua orang bisa nabung dan punya dana darurat. BISA lho ya, bukan perkara MAU atau NGGAK MAU menabung.

Lho menabung 'kan harusnya diusahakan?

Dulu awalnya saya juga mikir gitu. Tapi kemudian saya menyadari bahwa sama seperti banyak hal di dunia ini, menabung itu privilege. Keistimewaan. Karena buat banyak orang, pendapatannya nggak sebanding dengan TANGGUNG JAWAB-nya. Sandwich generation, misalnya. Harus menanggung keperluan pribadi (rumah tangganya sendiri), orangtua, dan banyak kisah, juga harus menyekolahkan saudara-saudaranya. Belum lagi kita ngomongin tanggung jawab berupa utang (di luar utang untuk lifestyle) dan cicilan ini-itu yang memang pokok buat penunjang hidup (rumah, kendaraan bermotor). Itu berat, banget. 

Bahkan mungkin buat sebagian orang, pendapatan hari ini cukupnya buat memenuhi kebutuhan hari ini. Buat besok? Kita lihat besok aja.

Kalau dengan kasus seperti ini, sepertinya menabung itu bukan jadi prioritas. Menurut saya, ya itu nggak salah sih, karena prioritas utamanya memang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau dipaksa nabung, malah bisa tipes karena nggak bisa makan. Yang penting, kita tahu ke mana perginya semua uang kita.


Ketika saya ditanyain orang-orang soal advice mengatur keuangan sebagai seorang freelancer, saya hanya berbagi yang saya lakukan di kondisi saat ini. Dan selalu saya tekankan kalau cara-cara ini yang cocok buat kondisi saya saat ini. Belum tentu di waktu ke depan saya bakal terus menjalankan cara itu karena kondisinya bisa saja berbeda. Dan juga, belum tentu juga cara-cara saya ini cocok sama orang lain karena balik lagi, kondisinya beda-beda, tanggungannya juga berbeda.

Yang jelas, buat kita yang diberi rezeki yang masih berlebih dan bisa dialokasikan untuk menabung, marilah disyukuri. Walau jumlahnya mungkin nggak banyak, tapi itu karunia lho. Dikumpulin berkala, niscaya bisa jadi tambahan dana darurat. 

Kalau di kitab suci agama saya, ada dibilang, 'Setialah pada perkara-perkara kecil'. Duit 1 milyar kalau seribu rupiah aja hilang, udah nggak komplit jadi 1 milyar lagi toh?
Semangat yaaa buat kita semua! 



Komentar

  1. Semangaaaat! Ayo kita saling mendoakan dan mendukung ya... *peluk jauh

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer