Life Before 30: Bagaimana Rasanya Menjadi Orang yang 'Tertinggal'?

Image taken from pexels.com/Karolina Grabwoska

Tahun ini usia saya 29 tahun, sejengkal lagi dalam hitungan bulan saya akan menginjak usia tiga dekade. Muda atau tua, itu perkara persepsi dan angka saja. Tetapi memang di usia saya ini saya menyadari kehidupan saya dan teman-teman saya yang sepantaran sudah banyak berubah dari pertama kali kami saling mengenal. 

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman yang usianya di bawah saya, bertanya, 

"Kamu pernah nggak, Mbak, merasa tertinggal dari teman-teman seusiamu yang lain?"

"Ketinggalan dalam hal apa nih? Pernikahan? Karir? Finansial?"

Ketika pertanyaan ini dilontarkan, otomatis laci-laci di otak saya terbuka dan seperti memunculkan wajah teman-teman yang cukup dekat dengan saya, atau pun yang dulu pernah dekat. Sudah banyak sekali yang menikah. Teman-teman zaman kuliah ada yang anaknya sudah tiga. Bahkan teman satu geng saya saat SMA yang notabene tiga orang laki-laki (saya sendiri yang perempuan), sudah menikah dan sudah punya anak. 

Sejujurnya, saya pernah merasa tertinggal, dulu ... Ketika teman saya laki-laki yang terakhir itu akan menikah. Waktu itu saya bahkan nggak punya pasangan (sekarang balik lagi single sih). Tapi, ketika semua teman saya segeng itu sudah menikah, ternyata saya tidak merasa ketinggalan dan sendirian kok. Istri-istri mereka sangat baik dan supportif, bahkan yang menghibur saya waktu patah hati kemarin ya istri-istrinya 😂 Mungkin karena kami berteman tidak pernah saling senggol dan iri satu sama lain ya, jadi kami juga paham cerita dan derita hidup masing-masing hehehe ...

Begitu pula teman-teman masa sekolah di TK-SMA. Walaupun sudah banyak di antara mereka yang sudah menikah dan punya anak, ketika bertemu pertanyaan mereka hanya sebatas, "Belum nikah to, Wind? Oalah, gapapa, Wind, gak usah keburu-buru. Moga-moga dapat jodoh yang terbaik ya." Sisanya, kami lebih suka membahas tentang apa yang kami kerjakan saat ini, bagaimana kabar keluarga dan teman-teman yang lain. 

Tapi, terkadang ketika bertemu dengan beberapa teman perempuan, atau ketika mengamati mereka dari unggahan di social media, yang saya rasakan bukan ketertinggalan. Lebih ke arah sudah beda dunia. Dulunya saya pikir mungkin karena mereka sudah menikah dan punya anak ya, jadi saya kurang into dengan apa yang mereka bahas dan mereka rasakan. Tapi, setelah ngobrol dengan Banana, nggg, sepertinya nggak juga. Wong Banana dan beberapa teman-teman saya juga sudah menikah dan punya anak tapi tetap nyambung kok obrolan kami. Kalau sekarang saya menyikapinya, ya sudahlah, memang ada masanya teman datang silih-berganti dalam hidup kita dan semakin dewasa memang jumlah lingkaran teman terdekat akan semakin sedikit. That's painfully truth, isn't it?

Itu dari sisi kehidupan personal. Kalau ditanya soal ketertinggalan, soal karir juga cukup sensitif buat dibahas. Kalau dari sisi karir, saya nggak pernah merasa ketinggalan hingga hari ini karena menurut saya path karir masing-masing orang pasti beda-beda sih. Mungkin di sisi kehidupan yang ini, saya bisa lebih berbangga karena dari delapan tahun mencicipi dunia kerja, dari start up lokal sampai perusahaan nasional, dari jadi karyawan sampai sekarang bisa merasakan privilege kerja sendiri, saya merasa cukup banyak improvement yang terjadi. Tentu saja masih banyak PR yang harus saya kerjakan soal belajar-belajar ini dan PR ini never ending pastinya. 

Sekarang saya berada di puncak, di mana saya sangat ambisius mempelajari apapun yang saya pengen dan selama ada kesempatannya, saya pasti akan memanfaatkannya. I don't care what people said about me today. Setelah pernah dianggap 'menyeramkan' dan 'punya bibit menuntut', justru saya sangat terpacu untuk semakin melontar lebih tinggi, lebih jauh. The only one person I will push beyond the limit is no one, but myself. Orang-orang terdekat saya mah sudah tahu banget kalau selama ini sudah seperti itu, dengan kehidupan saya selama ini boro-boro ya menuntut orang lain. Saya sudah terbiasa menuntut diri sendiri, baik itu dari sisi financially stability maupun capaian-capaian hidup. Lucu banget kalau diingat-ingat. Ya ndak papa, mungkin karena yang ngomong belum kenal saya banget dan terlalu dini mengambil kesimpulan tentang saya. 

Ketertinggalan lain yang juga sering disoroti adalah perkara kepemilikan material. Jujur ya, saya pengen sih punya rumah milik saya sendiri. Sebetulnya di awal tahun kemarin kalau rencana baik dalam hidup saya itu terwujud, saya sudah berencana untuk beli rumah sendiri untuk aset karena kalau yang ditempati ini ya masih sama Mama (case-nya Mama saya sakit dan nggak bisa ditinggalkan sendirian). Tapi karena rencana baik itu tidak jadi terwujud, saya berpikir ulang soal membeli rumah dan memutuskan untuk menambah tabungan itu lagi dan menginvestasikannya ke hal-hal lain yang lebih aktif biar uangnya berputar. Dan lagi saya 'kan nggak dapat support dari orangtua untuk hal-hal seperti ini dan kalau pun dapat support, saya pengennya punya rumah yang dibeli dengan jerih payah sendiri sih. Bukan adat saya mengandalkan orang lain gitu.

Baca Juga: Tiap Kondisi Berbeda, Nggak Semua Orang Bisa Menabung

Perkara lain, kendaraan bermotor. Kalau ini sih skala prioritas ya. Di hari ini belum merasa butuh mobil. Punya mobil aja tiga tahun yang lalu dijual gara-gara nggak produktif malah beban biaya maintenance-nya terasa berat. Masih ada GrabCar atau GoCar yang bisa dimanfaatkan untuk situasi-situasi insidentil. Sehari-hari lebih praktis naik motor atau yang mana bisa ditempuh jalan kaki. Kecuali kalau nanti memang sangat butuh, barulah beli mobil.

Ketinggalan atau nggak, saya sendiri nggak tahu pandangan orang lain gimana. Mungkin sebagian orang melihat hidup saya ketinggalan; umur udah 30 tahun, masih keliaran, mana pasangannya, kok belum menikah, kok belum punya anak, kerjaannya juga ditinggalin yang kantoran keliatannya pengangguran (eh ini beneran ada yang menyarankan saya buat 'bekerja' lho 😂)

Mungkin juga ada banyak orang yang nggak ngeliat apa-apa. Ya sudah biasa saja, seperti saya ngelihat diri saya sendiri. 

Lebih dari itu, sekarang saya sedang menikmati dan memuas-muaskan diri di fase ini karena saya nggak pengen menyesal-menyesal amat di masa mendatang karena kok belum merasakan ini-itu, meraih ini-itu. Ya mungkin nanti di masa depan pasti akan ada hal-hal yang nggak bisa terwujud, I know it. Tapi setidaknya aku sudah pernah merasakan sebagian dari ambisi-ambisiku. 

Sekarang yang sedang saya lakukan bukan untuk impress siapa-siapa. Aku melakukannya karena tiga hal: aku pengen, aku bisa, dan aku pengen bisa. Semua ini buat kepuasan diriku sendiri. Mungkin sedang masanya saya menyuapi ego dan ambisi diri setelah beberapa waktu ke belakang saya mengalami kegoyahan yang cukup merusak diri saya sendiri. 

Baca Juga: Learning to Love Yourself is The Greatest Love of All

Justru kalau tidak melakukan ini semua, aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna.

Di titik ini akhirnya saya menyadari, nggak perlu merasa ketinggalan dari orang lain. Tiap orang punya timeline hidupnya masing-masing, begitu pula rencana dan kebahagiannya masing-masing. Bagi saya, merasa tertinggal lah, bukan dari orang lain, tetapi dari diri sendiri kalau seiring berjalannya waktu nggak ada progres apapun dibandingkan kehidupan kita di masa-masa yang lalu. 

Ini sangat personal, dan saya juga nggak meminta yang membaca ini menjalani hidup seperti saya. Pokoknya, just live your best life and be the best version of you!

Cheers!

Baca Juga: Babak Baru Menata Hidup di Pertengahan 2020

Coming soon

Komentar

Postingan Populer