Segurat Manis

Segurat manis itu kembali lagi kukecap. Beberapa tempo itu, kembali kurasakan manisnya gula kapas yang membawaku menjadi riang seketika. Dunia ini menjadi merahmuda. Membayangkanmu jadi lebih indah. Kamu yang selama ini adalah paradoks, telah berkonfigurasi dalam pikiranku menjadi retorik. Sudah pasti semua pertanyaan ini jawabannya adalah satu, kamu. Hanya saja buku-buku yang selama ini kubaca dan perkuliahan yang selama ini kuanyam selalu mengajarkanku untuk memelihara semua ini dengan hati, bukan dengan logika. Dan aku lupa caranya mengaktifkan senyawa itu. Bagiku hati adalah ekskresi. Logika akan menyelamatkan kita dari keterpurukan dan tindakan preventif dari rasa sia-sia dan terbuang. Kembalilah aku kelimpungan sendirian. Kamu manis, sangat manis, bukan dengan tindakan romantis. Mereka bilang aku harus menurunkan standar, tapi mereka tak tahu bahwa romantis menurut versiku justru sangat di bawah standar. Lantas, apalagi yang harus kuturunkan? Oh, mungkin menurunkan yang di otak ini agar bisa selaras dengan yang di hati. Dan gula kapas ini membantuku membuat duniaku yang monokrom menjadi sedikit tersentuh warna. Tak perlu lagi pewarna, yang kamu butuhkan hanyalah pengawet, Sayang. Gula kapas ini manis terasa, tapi akan dengan hilang dari kecapan. Aku tidak ingin kamu menjadi ala kadarnya, dan jatuh parah menjadi ekskresi semata seperti yang lain. Jadilah dirimu sendiri. Itu pengawet terampuh untuk tetap meninggalkan kecapan manis di lidahku. Jika nanti gula kapasku habis, semoga itu bukan karena kamu kehilangan rasa manis khasmu itu. Tapi karena kamu sudah nyata di sini, bukan juga karena selamat tinggal. Aku suka logikaku yang berjumlah Sembilan dan aku akan sangat hati-hati pada hatiku yang tinggal Satu. Selama masih “aku-kamu” dan belum “kita”, aku yakin aku belum jatuh cinta. Semoga ini tidak mengurangi rasa manismu di lidahku!


-Winda Carmelita-

Komentar

Postingan Populer