epitaph

sebenarnya yang telah terjadi ini, semata bukan karena kebencian atau keinginan untuk melangkah pergi. Hanya saja ketika ada totalitas, keinginan untuk memberikan yang terbaik dan rasa sayang yang tak bisa diungkapkan dengan emosi yang tepat, memang selalu harus ada harga yang dibayarkan.


Saat ini adalah saat di mana sepi dan sendiri adalah obat yang terbaik, pain killer paling ampuh. Ketika ekspektasi dikalahkan oleh realita, aku kembali percaya bahwa jadi orang yang realistis dan rasional adalah lebih baik ketimbang mimpi dan intuisi. Sendiri adalah kawan hidup yang selama ini kugumuli dan sepi adalah siksa tapi mau tak mau mesti kuterima.


Aku telah memilih situasinya.


Dan aku telah menerima jika ada yang tersakiti, bahkan akhirnya aku sendirilah. Yang terparah adalah perasaan dan hati, disayat oleh logika dan realita.


Aku ingin lagi dipeluk oleh perasaan nyaman tanpa beban. Aku ingin lagi digenggam oleh harapan. Aku ingin lagi punya kupu-kupu yang bergerak di ulu hatiku. Aku berharap bumi tak lagi punya gravitasi yang terus menarikku ke bawah bumi, karena panas bumi sudah mematirasakan semuanya.


Ambisi dan tuntutan telah membuyarkan perasaan yang telah dibangun. mestinya yang harus disalahkan saat ini bukan siapa-siapa kecuali aku yang telah menyia-nyiakan dan berasumsi caraku yang terbaik.


Aku absurd. Kaku. Tidak bisa melebur dengan dunia merah muda milik siapapun. Tak bisa bicara dengan bahasa manusia biasa.


Aku mencari pohon itu, di mana perasaan iri, cemburu, lelah dan tidak peka merupakan buahnya. Pohon itu bernama ketidakpuasan. Akhirnya, akulah yang berlindung di bawahnya, berharap berteduh tetapi malah tertuduh.


Selamat datang, yang telah pergi lagi. Semoga perasaan ingin menyendiri ini bukanlah perih yang tak terobati.

Komentar

Postingan Populer