Dunia Ini Milik Siapa?

Dulu,


ketika masih TK dan ditanya apa cita-citanya, kita pasti dengan mudah bilang : “Dokter!”, “Pramugari!” dan sederet profesi menarik lainnya. Bahkan ketika kita bilang mau jadi astronot padahal kita ditinggal sendiri dalam sebuah ruangan gelap saja takut, orang-orang dewasa di sekitar kita waktu itu mengamini. Mendukung sembari mengelus lembut kepala kita.


Mereka menganggap cita-cita kita itu angan, mungkin juga pertanyaan “Cita-citamu apa?” itu hanya sebuah template yang muncul setiap ketemu anak kecil supaya situasi tidak menjadi garing. Lucu.


Dulu,


ketika akan masuk kuliah, tiba-tiba kelucuan-kelucuan itu menjadi menyakitkan ketika orang tua kita melotot melihat apa yang kita tulis pada formulir tidak sesuai dengan harapan mereka. Mereka bilang “terserah”, tapi akhirnya yang muncul adalah “apa-apaan?!” *untungnya yang ini tidak terjadi padaku*. Belum lagi saat semesta sepertinya bersatu dengan alasan-alasan lain yang tiba-tiba jadi rasional, kita jauh dari apa yang telah menjadi impian kita sejak lama *yang ini terjadi padaku*. Ah. Semuanya tidak lagi jadi lucu.


Baru saja,


ketika menjelang usia dewasa, kita punya pilihan sendiri yang menurut kita baik dan cocok menurut kita. Kemudian muncullah istilah-istilah yang tiba-tiba melekat dalam diri kita. Idealis, visioner, pemimpi. Entah apa lagi itu istilahnya.


Lantas kemudian orang-orang seperti aku yang bertanya:


"Untuk apa dulu kita disuruh bermimpi, punya cita-cita?"


Apakah mimpi yang dimaksud adalah mimpi kosong yang kembangnya orang tidur itu? Bukannya merujuk pada sesuatu yang diletakkan di ujung lorong sana dan bagaimana cara kita meraih hal itu? Kemudian akhirnya aku keceplosan, ‘Gantungkan cita-citamu setinggi langit’ yang sering muncul pada buku-buku kenangan waktu SD itu sudah tidak valid lagi. Istilah itu kemudian jadi sesat ketika bertemu dengan dunia orang dewasa yang kejam.


Akhirnya aku merasa bahwa semakin dewasa kita diciptakan untuk membahagiakan kebahagiaan semu. Membahagiakan orangtua kita, membahagiakan keluarga, membahagiakan pacar, membahagiakan dosen, membahagiakan gebetannya pacar (mungkin). Yang katanya untuk kebaikan diriku, padahal belum tentu aku nyaman melakukannya. Yang katanya demi kebaikan kita semua, nyatanya selalu ada yang tersakiti di dalamnya.


Lantas pergi ke mana mimpi dan cita-cita yang sebetulnya itu muara kebahagiaan kita? Entah, mungkin tergerus dengan sadis seiring dengan kalender yang disobek tiap harinya. 


Mungkin yang tepat kita tanyakan nanti pada anak kita bukannya “Cita-citamu apa, Nak?” tapi “Kamu mau mengubah dunia dengan cara seperti apa, Nak?”. 

Komentar

Postingan Populer