Pikiran yang Berhamburan #2

Di dunia ini kita hidup berdampingan dengan berbagai macam jenis manusia. Yah, itu sudah umum dibicarakan. Termasuk adalah ketika kita membicarakan orang lain yang kita anggap berbeda jenis dengan kita. Kecenderungan manusia adalah akan mempersepsi apa yang dilihatnya (Oke, karena indra penglihatan adalah menurut saya yang paling pertama menghadapi realita dunia). Based on Desiderato’s statement : Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 



Menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan bisa jadi hal yang menyesatkan, bagi pemikiran kita sendiri. 


Marilah kita bicara tentang banyak orang yang berusaha menafsirkan pesan, baik dari omongan orang lain, tulisan di surat kabar hingga kitab suci agamanya. Biasanya ujungnya kita akan menemukan simpulan dan penghakiman. Berapa banyak sih sudah kita dengar tentang orang yang  membunuh, membakar hidup-hidup orang lain dengan alasan “dia salah, karena di kitab suci perilaku seperti itu ditafsirkan sebagai hal yang melanggar ayat bla-bla-bla”. 


Marilah kita bicara lagi tentang tafsiran. Apa tafsiran itu sepenuhnya diyakini benar. Ah, saya sendiri juga tidak memahami betul apa itu Ajaran Sosial Gereja. Kembali lagi, saya pun menjadi makhluk yang penuh penafsiran (ya karena selama manusia masih hidup dia punya kemampuan mempersepsikan sesuatu). 


Tetapi, kemarin saya ikut kuliah tamu. Speaker-nya adalah seorang laki-laki muda yang menurut saya berpikiran terbuka. Namanya Mas Oman. Satu kalimat yang saya ingat dari kuliah tamu yang sangat menyenangkan itu adalah : “Bagaimana kita manusia boleh tidak setuju dengan suatu hal, tetapi kita menerimanya”.


Introduksi di atas sebetulnya adalah pengantar pada pemikiran saya tentang isu ini : 


Banyak negara di dunia yang melegalkan pernikahan sesama jenis, misalnya di Washington sebagai salah satu bentuk human rights (http://www.tempo.co/read/news/2012/02/03/116381519/Pernikahan-Sesama-Jenis-Akan-Legal-di-Washington). Tetapi masih banyak juga yang no comment atau sampai mati tidak akan melegalkan hal tersebut (Indonesia?). Oh, bukan, bukannya saya termasuk orang yang pro terhadap hal tersebut. Saya berada di tengah-tengah. Tetapi yang cukup mengherankan adalah saat orang-orang di sekitar saya menganggap hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang menjijikkan dan, okay, secara serius membenci orang-orang dengan orientasi seksual seperti itu.


Saya percaya yang punya kehidupan menggariskan kehidupan kita sesuai apa yang direncanakan-Nya. Termasuk hal ini berlaku pada kawan-kawan kita yang tidak sama ‘lurus’nya seperti kita. Tapi dengan penghakiman dan kecenderungan untuk mengucilkan, apa serta merta akan membuat kehidupan mereka akan langsung berubah? Apa Tuhan lagi buruk suasana hatinya ketika menciptakan mereka? Tentunya, saya yakin, tidak.


Ketika ada laki-laki dan perempuan, bagaimana dengan mereka yang punya kecenderungan di antara kedua jenis kelamin tersebut? Apa mereka bukan makhluk ciptaan Tuhan? Tetapi buktinya they’re exist. Ketika perempuan dan laki-laki jatuh cinta, bagaimana dengan perempuan-perempuan dan laki-laki dengan laki-laki yang jatuh cinta? Apa yang membuat mereka menjadi seperti itu?


Saya, bukan salah satu diantara mereka, terlahir normal dan menyukai lawan jenis. Saya, tidak berusaha membela atau menghakimi siapapun, tetapi saya hanya berusaha menerima bahwa mereka ada di sekitar kita. 


Apa ada yang bisa bantu meluruskan pikiran saya?:)

Komentar

Postingan Populer