From 9 to 4 or More: Kerja di Rumah Layaknya Pekerja Kantoran

image: unsplash.com/@essentialsliving

Hello 2020!
Ini postingan pertama di tahun 2020 tanpa ada postingan penutup akhir tahun 2019 di blog ini. Tapi sebetulnya ada saya tuliskan di journal kok. Bisa dibaca di sini, kalau berkenan.

Hampir menyentuh angka 12 bulan semenjak surat resign saya layangkan di suatu pagi di bulan Januari 2019. Satu tahun terlewati, resmi sudah tidak lagi dapat tunjangan dan gajian bulanan. Satu tahun yang sebetulnya saya tidak menyangka sungguh rupa-rupa rasa dan warnanya, baik dari sisi personal maupun pekerjaan.

View this post on Instagram
2019: "Habis resign mau ke mana?" "Mau jadi 'bos' atas diriku sendiri." (people laughed. Saya tertawa dan menangis sekaligus 😂) . 2020: "Oh setahun sudah terlewati ~ 🐎" . Menjajaki hari-hari baru setelah bertahun-tahun ada dalam ritme hidup yang sama. Mengubah banyak hal dan cara pandang, 'resign' adalah keputusan cukup besar yang harus-harus-HARUS diambil setahun lalu setelah melewati malam-malam susah merem padahal bukan gara-gara laper 😌 . Gimana rasanya bisa kerja di mana pun kapanpun? Enak dong kerja di rumah bisa dasteran? FAKTANYA... . Besok saya diajakin cerita-cerita sama @dialoogi.today dalam #berdialoogibisnis tentang rupa-rupa menjalani hari-hari sebagai freelancer PNS alias Pekerja-Non-Stop 🐙 . Hari, jam dan tanggalnya sudah tertera di e-flyer. Sampai jumpa besok sore, kita ngopi sambil ngemil croissantnya Dialoogi yang super enak itu 💕💕
A post shared by Winda Carmelita (@windacarmelita) on


Hari Jumat (10/1) kemarin, saya diajakin ngobrol sama teman-teman Dialoogi, bercerita soal pengalaman 'baru-tapi-lama' sebagai seorang freelancer. Super fun! Karena dari obrolan hampir 2 jam itu, banyak banget insight yang saya dapatkan dari teman-teman yang hadir. Begitu pula sebaliknya. Kebanyakan yang hadir di acara sharing kemarin adalah sesama freelancer.

Salah satu hal yang kemarin banyak digali adalah soal mengelola diri sebagai seorang freelancer. Bagi saya, jadi freelancer itu sekadar status di MoU, layaknya status 'kontrak' atau 'pegawai tetap'. Teman saya, Abih, bilang bahwa "Jadi freelancer itu sama dengan jadi bussinessman." SEPAKAT! Saya dulu pun waktu pamitan dari kantor lama mengatakan hal yang sama, "Mau jadi bos atas diri saya sendiri."

Yang mana justru malah tantangannya lebih-lebih-lebih besar daripada kerja ikut orang. Kebetulan sudah pernah mengalami keduanya, jadi saya punya perbandingan. Ketika kerja ikut orang dengan sistem gaji bulanan, besarnya pendapatan kita biasanya sudah ada ketetapan nominal pastinya. Whatever happens, nominalnya sudah pasti kita terima sekian. Tapi, ketika kerja sendiri seperti sekarang, nominalnya ya tergantung dari proyek-proyek yang datang dan faktor XYZ yang menyertainya.

Sebagai kontributor media dan PM seperti yang saya lakoni saat ini, sistem kerjanya adalah semakin banyak artikel yang disetorkan, semakin banyak penghasilan bulanannya. Begitu pula sebaliknya. Masalahnya, kalau saya pribadi, nggak bisa menggantungkan hanya pada satu sumber penghasilan saja. Mumpung diberi kesempatan produktif, pengennya benar-benar bisa memanfaatkan waktu dengan baik supaya bisa belajar banyak dan syukur kalau bisa dapat penghasilan yang lebih dari target.

'Kan kita juga butuh beli skincare dan mau nonton-nonton gigs gitu~ 😀

Setahun ini satu hal yang saya pelajari adalah pelajaran mengatur waktu. Ini sepertinya bakal jadi PR seumur hidup karena kegiatan kita yang dinamis dari hari ke hari. Tapi, buat saya pribadi, saya menyukai keteraturan jadwal di mana di hari itu saya tahu apa saja yang harus saya kerjakan dan selesaikan. Rasanya kalau sudah mencentang semua to-do list harian itu bahagianya seperti berhasil move-on dari hubungan yang toxic (weeeee curcol!) 😂

Contoh keteraturan jadwal yang saya terapkan tiap hari:

  • Bangun jam 06.00
  • Belanja dan masak sampai jam 08.00
  • Sarapan, mandi dan dandan sok kecakepan
  • Sudah nyalain laptop dan PC sebelum jam 09.00
  • Masuk kamar, kerja diselingi makan siang jam 12.00/13.00 atau ngegym 1 jam, balik kerja lagi sampai jam 16.00-an
  • Bersenang-senang sampai malam (kalau nggak ada deadline)
Tiap pagi saya mandi setelah masak, kemudian pakai skincare dan dandan, pakai baju santai tapi rapi. Itu piyama dan daster saya enyahkan jauh-jauh. Kenapa? Biar nggak kebawa-bawa hawa malasnya. 

Ngantor lima tahun bikin saya punya ritme harian yang cukup jelas dan tertata. Ketika punya otoritas sendiri kerja di rumah, awalnya saya merasa merdeka karena "Yesss! Bisa bangun siang, kerja pake daster!" Iya, awalnya. Tapi kemudian saya merasa risih sendiri karena berpengaruh lho ke psikis. Kerja pake daster itu super uwenak memang, apalagi daster kucel yang sudah koyak-koyak itu. Tapi bawaannya pengen rebahan melulu. Akhirnya saya merasa kembali ke rutinitas yang terjadwal adalah cara kerja yang paling pas buat saya.

Semoga nanti kerajaan kecil ini pindah, nggak ngadep tembok ya 
Ritual lain yang tiap hari saya lakukan adalah mencatat jadwal harian dan to-do list. Saya paling nggak bisa kerja dikejar deadline dan dadakan karena lebih suka mem-break down pekerjaan besar jadi pekerjaan-pekerjaan kecil yang bisa dicicil. Kalau orang-orang bilang, kejar tayang bikin adrenalin terpacu dan hasilnya lebih oke, bagi saya malah sebaliknya. Semakin terburu-buru saya semakin kacau balau. Jadi kalau dikasih deadline kayak Bandung Bondowoso disuruh bangun 1.000 candi dalam semalam, saya mungkin malah mutung urek-urek tanah 😅

Itulah mengapa saya selalu membuat to-do list malam sebelumnya atau pagi sebelum kerja. Punya to-do list harian itu seperti punya goal yang bikin semangat terpacu. Selain itu, untuk saya pribadi, to-do list itu cara mengukur load pekerjaan. Katakanlah, dalam 7 jam kerja setiap hari, saya bisa menulis 3 artikel, mencicil content plan untuk 1 minggu, mengecek bla-bla-bla, dst. 

Buku schedule kelinci andalanku
Sebagian besar orang yang saya ceritain tentang kebiasaan saya ini memang banyak yang terheran-heran. Karena banyak orang yang mengira selepas saya resign dari kantor itu banyak waktu nganggurnya. Bahkan ada yang pernah komentar, "Enak ya kamu. Sekarang cuma ngopi-ngopi."
Iya, yang dilihat 'kan stories-stories saya kalau lagi ngopi-ngopi atau kegiatan menghibur diri lainnya. Padahal yang sesungguhnya adalah ... YA ENAK LAH NGOPI-NGOPI MULU! Hahahaha ... Nggak, ding. Kalau berkelana dari satu coffeeshop ke coffeeshop lain itu karena harus bertemu orang membahas satu dua hal. Maklum, belum punya kantor sendiri sih hehehe .. Most of the time sebetulnya saya lebih suka bekerja di rumah, karena saya kurang bisa kerja berame-rame di public space. Orangnya mudah terdistraksi soalnya.

Tentu saja, tiap orang punya cara kerjanya masing-masing, yang paling nyaman. Ada banyak teman-teman saya yang justru lebih bisa konsentrasi kalau kerja di malam hari sampai subuh. Saya adalah morning person yang energinya lagi penuh-penuhnya di pagi hari. Yang cocok bagi saya adalah cara kerja yang cukup disiplin seperti ini, tapi mungkin bagi kamu cara saya ini tidak pas. 

Saya pun nggak menerapkan ini setiap hari. Kadang juga kerja di luar rumah, kadang juga seharian nggak kerja kalau lagi benar-benar capek. Sabtu kadang kerja, kadang juga cuma seharian nonton Youtube. Kadang Senin kerja keras bagai kuda, kadang juga malah pergi karaokean membabibuta padahal semua orang lagi kerja 😂 Manusiawi. Terkadang kita perlu untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri 'kan?

Satu yang pasti adalah kasur adalah sebaik-baiknya tempat goler-goleran ternyaman di dunia. Setiap kali saya merasa malas kerja, seolah-olah ada yang berbisik di kuping saya, "Ingat, Wind, dalam setiap detik goler-goler di kasur yang kamu sia-siakan, ada duit yang bisa kamu hasilkan~ Ingat, katanya mau beli rumah pintunya kuning ~ Katanya mo beli Kawasaki W175 ~ Ingat, kamu bukan Rafathar, tinggal tunjuk langsung check out ~ "

Boleh cicil beli pintu dulu nggak? | Image taken from here
Kemudian saya kembali semangat duduk di depan meja kerja dan membayangkan nanti sore membayar rasa capek bekerja dengan TERANGBULAN KEJU SUSU FULLY LOADED! 😂😂


Komentar

Postingan Populer