(Katanya) Toxic Positivity


Sekarang kita sering banget mendengar orang-orang bilang soal toxic positivity. Toxic positivity itu sederhananya adalah konsep supaya kita harus terus berpikir positif dan menolak semua hal yang mungkin memicu perasaan negatif supaya hidup kita jadi lebih baik. Misalnya nih, di masa krisis karena Covid-19 ini teman kita sambat soal perekonomian keluarganya yang lagi jeblok, kemudian kalau kita memberi tanggapan, "Tetap semangat, jangan menyerah," nah ... itu dianggap toxic positivity. Intinya adalah 'sisi gelap'nya positive vibes.

Lha terus harusnya gimana?

Kalau dari banyak tulisan yang saya baca, harusnya kita menanggapi hal-hal negatif itu dengan ya menerima bahwa hal negatif itu memang ada dan dirasakan. Karena toxic positivity itu justru membuat kita menutupi perasaan yang sesungguhnya.

Entah kenapa, saya 50:50 aja sama konsep toxic positivity ini. Bagi saya, mendingan dengar orang berpendapat positif walau itu toxic, daripada setiap saat dihujani pernyataan negatif sih. Ini pendapat saya pribadi ya. Toh kita juga nggak bisa mengontrol bagaimana orang harus bersikap ke kita sih. Bisa jadi mereka nggak berniat jadi toxic dengan kata-katanya yang positif, tapi sesederhana mereka mungkin nggak tahu bagaimana harus memberikan tanggapan yang tepat dan bagaimana harus mengekspresikan rasa simpatinya.

Suatu hari, saya pernah kesal sekali sama suatu hal dan mengungkapkannya ke seseorang. Kebiasaan saya kalau sama teman-teman terdekat saya tuh, kalau menceritakan sesuatu hal yang bikin kesal dengan menggebu-gebu, ditanggapi dengan ... menggebu-gebu juga. Kompor, Cyin! 😂 Tapi kali itu saya hanya dapat tanggapan dengan kata-kata positif, yang bahkan saya nggak minta sarannya. Mengharap saya legowo dan bisa memaklumi kondisi tidak mengenakkan tersebut di waktu itu, sungguh bukan saran yang pengen saya dengar. Akhirnya, saya bilang aja,

 "Aku cuma pengen cerita kok, dan rasa kesalku ini valid dan manusiawi ya, jadi tolong dipahami."

Yes, I'm the assertive one! 😅

Gara-gara banyak orang menggaungkan toxic positivity ini, jujur, saya juga sering bingung kalau ada orang curhat ke saya. Kalau menanggapi sesuatu yang ternyata related dengan pengalaman saya, kemudian berusaha menghibur, nanti dibilang toxic positivity. Sementara, kalau menanggapi sesuatu yang saya nggak pernah mengalami, tapi kita berusaha berempati ... sama, toxic juga katanya. Apalagi menanggapi sesuatu yang kita nggak mengalami dengan negatif. Malah digebukin massa kayaknya. Agak susah ya, Pak, Bu, sementara menurut saya merespon cerita seseorang itu tanggung jawabnya gede lho. Orang tersebut sudah meletakkan kepercayaannya ke kita untuk menceritakan masalahnya, jadi respon kita terhitung juga berkontribusi dalam masalahnya, walau itu cuma satu persen lah.

Akhirnya, cara aman untuk menanggapi cerita orang lain, terutama yang belum pernah kita alami sendiri dan terhindari dari anggapan toxic positivity, kalau saya adalah dengan bilang,

"Aku nggak pernah mengalami seperti masalahmu, jadi aku nggak punya gambaran gimana. Cerita aja gapapa, aku dengerin sampai kamu lega."

Udah.

Semakin ke sini, akhirnya saya semacam belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu bahwa nggak usah ikut campur masalah orang lain, toh masalah kita sendiri lebih butuh perhatian ekstra. Kalau nggak diminta saran, dengerin aja ceritanya. Kalau diminta saran dan ternyata nggak cocok, ya sudah, mau gimana lagi. Kita 'kan nggak bisa menyenangkan semua orang yah?

Hadeh, susah juga ya hidup di masyarakat era Netflix. Negatif salah, positif juga nggak boleh 😂 Tuh 'kan akhirnya tulisan ini sulit ditutup dengan baik karena takut jadi toxic positivity HAHAHHAHA 

Dan hal lain yang penting adalah nggak semua hal perlu kita ceritakan ke orang lain, apalagi kalau kita nggak siap dengan responsnya. Tapi .... kita harus asertif buat hal-hal yang mengganjal di hati dan pikiran. Kalau ternyata tanggapannya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, pastinya kita punya ukuran ketegasan untuk masing-masing case yah. 

Komentar

Postingan Populer