This Is Not (My) New Normal



Sudah hari ke-sekian (sengaja nggak mau menghitung) himbauan untuk di rumah saja semenjak pandemi Covid-19 merebak. Sudah hari ke-sekian pula ... sudah mulai gila saya ini. Hahaha. Kegiatan hanya berkisar di kasur-teras-meja kerja-kamar mandi-ruang tengah, begitu terus setiap harinya. 

Bukan bermaksud mengeluh (cuma sambat - lah, apa bedanya ya?), tapi saya cuma nggak bisa membayangkan sih kalau hari-hari ke depannya seumur hidup bakal harus seperti ini. Nggak usah seumur hidup deh. Sampai akhir tahun 2019 aja, misalnya. Rasanya itu cukup menyulitkan sih, bagi saya secara pribadi. Kenapa? Karena banyak hal yang masih harus kita lakukan dengan bertemu orang lain, di ruang-ruang publik, yang nggak bisa serta-merta diwakili oleh daring. 

Memang, manusia dirancang sedemikian rupa agar bisa beradaptasi dengan hal-hal baru. Tapi berkegiatan 90 persen di rumah saja, dengan sistem pekerjaan dan roda perekonomian yang masih belum ketemu taktiknya bagaimana supaya bisa pulih dan beradaptasi dengan hal-hal baru ini, kok saya jadi merasa baper sendiri ya. Apalagi dengan aturan pemerintah yang kalau kata orang Jawa, "Isuk dele, sore tempe," saya makin pusing aja melihatnya. 

Seringkali orang bilang, this is a new normal. Tapi kalau buat saya, ini bukan kondisi normal. Di beberapa postingan yang lalu, saya bilang ini bakal jadi 'new habit'. Dulunya orang-orang mungkin menyepelekan kebersihan dan higienitas diri, sekarang jadi lebih memperhatikannya. Dulu pergi ke mana-mana ya tinggal langsung keluar rumah aja. Sekarang harus pakai masker ke mana-mana. Ketemu orang harus berjarak. 

Ya, ini mungkin akan jadi kebiasaan-kebiasaan baru. Tapi tetap saja, bagi saya ini nggak ideal. Mana ada orang olahraga harus kehalang nafasnya karena masker? Ini nggak ideal. Meeting, briefing, produksi barang atau konten harus berjauh-jauhan dan sepenuhnya remote, mungkin banyak yang sudah melakukannya, tapi tetap saja belum jadi situasi yang ideal. Belum lagi interaksi antar manusia yang sekarang cuma bisa dilakukan secara virtual. Padahal sebagai manusia kita butuh physical touch 'kan, sekecil apapun itu. Berasa ada satu-dua indera yang dimatikan karena ke-'the new normal'-an ini. 

Postingan ini mungkin nggak ada pesan moralnya sih, hahaha ... I just want to throwing out what's on my mind. Jujurnya, saya (dan mungkin kamu yang sedang baca ini), nggak bisa menerima kondisi ini sebagai hal yang normal dan ideal 'kan? Nggak perlu menutupi dan membuat semua ini seolah baik-baik saja, seolah bakal jadi hal yang biasa saja ke depannya. Because it won't. Karena saya sendiri mengalami banyak hal yang berubah semenjak pandemi ini, dan beberapa di antaranya membuat saya akhirnya menyerah.

Mencoba tetap waras dengan akhirnya keluar rumah jogging sore-sore sebagai katarsis

Well, it's okay to be not okay 'kan?

----
Simak obrolan saya bareng Rizal Rosyadi di podcast Before and At 30's tentang New Normal, di sini:

<iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/4XsJKwff7KLwbEHtGRuA1U" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>

Komentar

  1. halo mbak winda, lama tidak ke sini
    iya dunia cepat sekali berubah dan tak menyangka akan bisa begini
    memang siapa pun rasanya tidak akan bisa menerima habit baru ini

    dan tidak semua bisa dilakukan hanya lewat daring
    yang cukup susah anak-anak sekolah ini entah bagaimana kelanjutannya

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer