Idealnya Sudah Punya Apa: Usia 25 Tahun ++ dan Belum Punya 100 Juta, Ambil KTA atau ... ?

Apa? 'Cuma' punya 100 juta? Ya harusnya udah beli pulau, gunung, dan beserta isinya lah! Kok nanggung?
Image taken from Unsplash/@proximarco

Judul postingan kali ini memang panjang, nyebelin, dan ter-triggered topik hangat yang bikin timeline Twitter ricuh sejak kemarin. Semuanya berawal dari share yang dibagikan tentang "Idealnya-usia-25-tahun-punya-apa?" dari akun Instagram @menjadikaya, yang ujung-ujungnya bikin kepikiran "Apakah-kalau-ingin-punya-modal-bisnis-supaya-bisa-dapat-100- juta-pertama-di-usia-25-tahun-aku-harus-hire-babi-ngepet-atau-kah-ambil- KTA -saja?"

Sebagai orang yang barusan aja melewati usia 25 tahun selama lima tahun, alias sekarang sudah 30 tahun, saya menanggapi postingan ini dengan kalem. Lha wong sudah ada disclaimer di bawahnya itu, jadi seharusnya tidak jadi reaktif. Tapi namanya di social media, jadinya topik ini malah seru karena banyak yang terpancing tidak membaca disclaimer kalimat yang paling bawah sendiri ini. 

Sepuluh tahun yang lalu, saya pernah bertanya ke seorang teman yang waktu itu sudah menginjak usia 25 tahun, "Mas, rasanya umur 25 tahun itu gimana?" Dijawab oleh teman saya, "Ya nggak gimana-gimana. Rasanya ya kayak biasa aja, cuma tanggung jawabnya nambah." Waktu itu saya berpikir apakah saya siap menginjak usia 25 tahun 'nanti'? Perubahan hidup apa yang bakal saya alami di usia 25 tahun 'nanti'? Nggak sabar, tapi juga takut karena bayang-bayang half quarter life crisis yang sering diperbincangkan orang bahwa di usia 25 tahun nanti bla-bla-bla. 

Ternyata, setelah saya menginjak usia 25 tahun, eeeeh, kok nggak seperti yang saya bayangkan. Di usia 25 tahun itu saya hidupnya cuma kerja-kerja-kerja, cari uang, berusaha waras dan mengobati patah hati karena dua bulan sebelum ulangtahun ke-25 Papa meninggal. Ya part ini sudah sering saya ceritakan sih, jadi silakan digging ke postingan-postingan saya sebelum ini. 

Yang jelas di usia bahkan sebelum 25 tahun, saya juga punya gambaran ideal seperti apa harusnya hidup saya. Seratus juta pertama, punya rumah atas nama saya sendiri, nggak lagi kerja kantoran ikut orang lain, dan segala-gala mimpi di masa itu. Lho nggak apa-apa, nggak salah, namanya juga 'idealnya' alias harapannya. Ketika belum sampai mencentang itu semua di usia 25 tahun, bukan berarti gagal. Ya mungkin belum saja. Toh harapan kita umur panjang biar bisa melanjutkan mencentang 'ke-ideal-an' itu di usia-usia selanjutnya. 

Yang membuat postingan itu menurut saya jadi kontroversial adalah IDEALNYA SIAPA? Patokannya siapa nih yang dipakai? Karena kalau melihat dari sisi angka gaji saya, buat orang-orang yang kerjanya masih standar UMR Jawa Tengah (misalnya), ya sudah pasti bukan idealnya mereka. Tentu saja ideal ini nggak sama tiap-tiap orang. Yang kerjanya di tempat yang sama, dengan gaji yang sama saja, punya keinginan berbeda kok.

Dulu sebelum usia 30 tahun, mungkin saya cukup keras untuk hal-hal menyangkut prinsipil seperti ini. Tapi saat saya menuju, menginjak, dan melewati usia 30 tahun, banyak hal yang akhirnya melunak dan berubah. Udahlah kalau soal keras kepala, Winda Carmelita ini jagonya hehehe .. Tapi akhirnya saya punya keinginan-keinginan sendiri yang tidak terpengaruh orang lain, melainkan menakar dari kemampuan diri saya sendiri di kondisi saat ini. 

Tulisan ini bukan bermaksud ingin menggurui atau ingin menerapkan standar tertentu, hanya saja saya ingin berbagi dari sudut pandang pengalaman saya sendiri tentang usia 25 tahun (sudah terlewati), idealnya (saya sendiri) punya apa?

Punya otoritas disertai tanggungjawab menentukan hidup mau seperti apa

Image taken from Pexels.com/Natalie-320278

Saya merasa 25 tahun pertama hidup saya ini (byuh, PD amat nih saya punya umur panjang pakai bilang 'pertama' aja hahahahha AMEN FOR THAT, GUYS!) semacam 'pemanasan' doang. Beberapa hal baru saya berani lakukan malah di usia 28 tahun sampai 30 tahun ini (bahkan mungkin setelah ini masih ada yang baru berani saya lakukan). 

Otoritas hidup yang saya miliki pertama kali adalah keputusan untuk bekerja di atas kaki saya sendiri. Telat karena banyak yang sudah memulainya sebelum usia 25 tahun? Dulunya sih saya mikir begitu. Tapi setelah waktu berjalan dan dirasa-rasakan, ternyata nggak kok, karena memang dikasihnya sama Tuhan timing saya ya di usia 28 tahun. 

Hal lain yang ternyata baru saya dapatkan setelah usia 25 tahun adalah kemantapan dan otoritas terhadap tubuh saya sendiri yang salah satunya adalah dengan bikin tato pertama di usia 28 tahun. 

Ini hanya sebagian kecil dari otoritas diiringi tanggungjawab yang (akhirnya) (baru) saya miliki selepas usia 25 tahun. Yang lainnya nanti lah kita bahas atau mungkin juga nggak bakal dibahas di sini khawatirnya nanti digeruduk masyarakat sekitar huehehehe.

Pada akhirnya urusan otoritas-otoritas ini sepengalaman saya muaranya cuma satu: Nggak peduli berapa pun usianya, yang penting adalah pertanggungjawabannya. Mau usia 25 tahun, usia 28 tahun, usia 30 tahun, kalau nggak mantap, nggak siap pertanggungjawaban atas konsekuensinya, ya jangan. 

Punya keutuhan dan kepenuhan sebagai diri sendiri

Image taken from Pexels/Jill Burow

Dari dulu pemahaman saya soal pencarian jati diri adalah di usia remaja alias kalau sudah lewat usia 25 tahun masih mencari jati diri yo mbok isin karo wit gedhang ngarep e balai RW. Tapi saya percaya kalau manusia itu terus bertumbuh dan terus digosok sama pengalaman-pengalaman hidupnya. Kalau ngomongin pencarian jati diri di usia 25 tahun ke atas bukan lagi seperti posting mimik-mimik jahat di social media, tapi lebih ke bagaimana memiliki keutuhan dan kepenuhan sebagai diri sendiri. "Hidup seperti apa yang ingin aku jalani? Aku mau menjadi sosok seperti apa?"

Saya sampai hari ini masih merasa poin ini belum begitu bisa mengamalkan. Kadang saya merasa sendirian, kesepian, dan hampa. Merasa tidak cukup, membandingkan dengan orang lain, merasa tidak cantik, kurang kurus, dan sebagainya. PR saya selama 30 tahun ini terkhusus adalah kurang percaya diri dan kurang nggak ngurus omongan orang lain hahahah padahal menurut banyak orang ya nggak ada yang salah sama diri saya. 

Tetapi saya beruntung punya support system yang sangat baik yang selalu mengingatkan bahwa you are good enough kok, you're strong and it's okay to be tired sometimes. After all, we're just an human being 'kaaan. Dan sesekali mem-pukpuk diri sendiri ketika nggak ada yang bisa melakukannya untuk kita, itu cukup melegakan. Di hari ini, akhirnya saya menemukan salah satu cara mencapai keutuhan dan kepenuhan dengan "I'll do everything that makes me happy, karena aku mau dan mampu." Oke, cus, berangkat!

Punya side-hustle

Image taken from Unsplash/Avel Chuklanov

Sepengalaman saya, pemasukan dari satu sumber saja itu cukup, tapi riskan. Apalagi di masa pandemi seperti ini yang kita nggak tahu sewaktu-waktu sumber pemasukan kita bisa tumbang. Bisa jadi itu bisnis yang sedang kita jalankan, pekerjaan kantoran di mana kita menggantungkan pemasukan bulanan dari situ, dan lain-lain. 

Sejak berkarir pertama kali, saya selalu punya side hustle. Karena fokus pekerjaan saya adalah menulis, bertahun-tahun hingga kini saya punya side hustle juga di dunia yang tidak jauh berbeda dari pekerjaan utama saya. Side hustle ini bagi saya adalah cara saya realistis bahwa saya nggak akan selalu bisa berjaya dengan satu kaki, jadi butuh penopang yang lain. Apalagi kalau punya target tertentu dalam hidup. 

Please, be realistic! Karena seyakin apapun durian runtuh dari langit, kalau usaha yang dijalani nggak berbuah hasil dalam jangka waktu tertentu, ya harus menentukan jangka waktunya kapan untuk segera berani banting setir. Apalagi kalau sudah berkeluarga dan ada orang-orang yang hajat hidupnya bergantung di tangan kita.

Punya kepemilikan kita sendiri

Image taken by Unsplash/@josswoodhead

Soal kepemilikan ini saya nggak bisa membuatnya spesifik jadi satu-dua hal atau nominalnya seberapa. Beberapa orang menetapkan kepemilikan berbentuk rumah, kendaraan pribadi, investasi, nominal tabungan, dan lain-lain. Tapi ada juga yang menjadikan bisnis sebagai bentuk kepemilikan yang idealnya dimiliki di usia segini. 

Saya berani resign dari memulai bekerja sendiri di usia 28 tahun dengan banyak pertimbangan. Antara lain pengen belajar dan bertumbuh dengan pengalaman baru berbekal pengalaman bekerja selama lima tahun, dan karena nggak mungkin selamanya bekerja ikut orang lain. Sesuai dengan slogan tempat kerja saya dulu, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi?" maka saya memutuskannya di usia 28 tahun. 

Di usia 30 tahun, baru berani terlibat dalam bisnis bersama teman-teman yang saya anggap kepemilikan dan lahan belajar yang baru. Dan di usia 30 tahun ini saya baru terpikir untuk membangun bisnis apalagi ya yang bisa saya lakukan untuk mengembangkan modal yang saya miliki. Bisnis bareng teman, sudah. Bisnis saya sendiri, masih belum. 

Sebetulnya di kepala sudah ada beberapa keinginan membuka usaha baru sendiri. Lebih ke dagang mungkin ya, bukan bisnis (hayo, apa bedanya?). Sempat ngobrol dengan teman-teman dan terceletuk untuk ambil KTA alias Kredit Tanpa Agunan

Jujurly, saya sangat awam terhadap dunia perkreditan. Setelah Googling dan baca-baca dari CekAja.com, ternyata KTA itu secara singkat adalah pinjaman uang tunai tanpa perlu menyertakan jaminan agar dana tunainya cair. 

KTA ini banyak diminati karena pencairan dananya cepat dan prosesnya relatif cepat, sekitar satu minggu aja. Untuk pelunasannya pun minimal 3-5 tahun. Kalau di CekAja.com, proses pengajuan KTA ini syaratnya juga mudah, pokoknya WNI, usia minimal 21 tahun dan maksimal 55 tahun, memiliki penghasilan tetap minimal Rp 2,5 juta per bulan. Untuk poin yang terakhir mungkin tricky buat para freelancer seperti saya, tapi ya justru di sinilah tantangannya gimana kita akhirnya terpacu untuk harus bisa mengusahakan penghasilan tetap minimal Rp 2,5 juta per bulan. 

Untuk syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi ya meliputi dokumen-dokumen seperti fotokopi KTP, NPWP, dokumen menyangkut bisnis seperti SIUP, TDP, dan NPWP perusahaan, dan lain-lain yang bisa dilihat di sini. Menarik lho ini, yang penting memahami setiap persyaratan dan sistem KTA-nya dengan baik.

Mungkin ada yang setelah baca tulisan ini langsung terpacu semangatnya, langsung pengen buka bisnis ABC, isssokeeeyyy ... Tapi tentu saja kita harus benar-benar memahami goals diri, plus-minus dari semua keputusan yang kita ambil. 

Setelah melewati usia 25 tahun dan waktu itu belum punya 100 juta pertama saya, gajinya belum 8 juta, kendaraan pribadi Puji Tuhan punya motor matic dibeli dengan duit dapat beasiswa zaman kuliah dan gaji-gaji awal bekerja nabung banget, sampai usia 30 tahun ini masih on the way mengumpulkan pundi-pundi agar bisa membeli rumah pertama secara cash karena kehidupan freelancer siapa yang tahu, tapi baru merasakan hidup yang gila tapi seru, 25 tahun pertama kehidupan hanyalah sebuah pemanasan. Nggak ada orang yang path hidupnya benar-benar sama. Jadi, idealnya siapa? Ya idealnya diri sendiri.  

Harus diakui, ini semua memang nggak gampang, nggak ringan. Angka pencapaian nggak dipungkiri memang penting, tapi yang nggak kalah penting adalah punya semangat daya juang. Itu dah, karena kalau nggak punya semangat daya juang, begitu lihat kiri-kanan sudah 'naik' duluan, lihat obstacle di depan mata, pasti rasanya sudah putus asa duluan. 

Hidup dimulai sesungguhnya ketika kita berani terhadap konsekuensi dan siap mengambil langkah pertama yang bakal mengubah banyak hal dalam hidup 💖 

For more information about KTA, nggak perlu hire babi ngepet ya, Manteman, cek aja di https://www.cekaja.com/kredit-tanpa-agunan

Komentar

  1. Menurut saya, bagi cowok setidaknya tidak lagi minta uang ke orang tua.

    BalasHapus

Posting Komentar

Thankyou for your feedback!

Postingan Populer