'Kamu Harus Menerima Kalau Kamu Sudah Digantikan'

"Ya, kamu harus menerima kalau kamu sudah digantikan sama yang lain."

Kalimat itu sampai ke telinga saya di masa-masa yang kurang enak yang pernah saya alami beberapa waktu yang lalu. Entah mungkin yang melontarkannya masih ingat atau tidak, dan entah apakah maksudnya perkataannya waktu itu. Tapi yang jelas, saya masih mengingatnya sampai hari ini.

Harus. Menerima. Sudah. Digantikan.

Sejujurnya, saya cukup terkejut mendengar kata-kata itu (saat itu). Begitu pun, saya yakin sebetulnya yang melontarkannya juga tidak akan selegowo itu jika ada di posisi saya. 

Berwaktu-waktu lamanya, saya menelaah kenapa saya kesal dengan kata-kata itu karena membuat saya merasa memang LAYAK untuk digantikan, memang saya punya BANYAK KEKURANGAN sehingga saya tidak pantas. 

Akhirnya saya menemukan jawabannya mengapa.

Dua kata. "Harus" dan "menerima".

Saya yakin, digantikan, ditinggalkan, tidak diajak, tidak dipertimbangkan, adalah perasaan-perasaan yang sama sekali tidak enak dan tidak ada seorang pun yang mengharapkannya. Tetapi, namanya juga hidup, akan selalu ada episode-episode di mana kita merasa tidak diperlakukan dengan adil. 

Ada orang yang sukses melewati 5 tahapan berduka dengan begitu mudah. Tapi ada juga yang sangat sulit menghadapinya hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan seumur hidup. 

Jujur saja, sebagai manusia biasa yang perasaannya rapuh, tidak ada yang bisa menerima dengan begitu saja bahwa dirinya diperlakukan tidak adil. Apalagi diharuskan untuk move on, menerima, merelakan, dengan sesegera mungkin. Dalam hal apapun. Entah itu dalam hal membenci atau pun mencintai, keharusan tidaklah pernah nyaman untuk dilakukan.

Namun, di hari ini, saya belajar bahwa kita tidak perlu "harus menerima" untuk melupakan. Tetapi "belajar untuk berdamai". Belajar berdamai tidak ada tenggat waktunya, seperti ketika kita belajar di sekolah. Ada saatnya pelajaran itu mudah, ada saatnya sulit dan kita perlu berusaha lebih keras lagi. Ketika kita sudah belajar tetapi ternyata sulit, ya dengan sendirinya kita mengakui dan menerima bahwa itulah titik kelemahan kita.

Saat ini, mungkin level belajar saya sudah naik sedikit. Saya sedang belajar terbiasa untuk tidak diajak, tidak diundang, tidak dilibatkan, atau pun tidak dipertimbangkan. Ya memang berat, memang ada rasa kesal. Tapi saat ini saya memikirkan hal yang lain bahwa jika satu-dua orang tidak melibatkan, tidak menerima, meninggalkan, tidak melibatkan saya, ada orang-orang lain yang masih memikirkan tentang keberadaan saya dan saya masih bisa menerima kebaikan-kebaikan mereka. Atau hal lain yang disyukuri, misalnya tidak diundang di acara, "Oh ya udah kalo gitu nggak perlu keluar duit buat ke sana atau buat buwuh di acaranya."

Saya pikir, orang lain nggak wajib memberi perhatian kepada saya (kecuali orang-orang terdekat yang jadi prioritas kita dalam hidup.)

Saya saat ini sedang berlatih untuk berdamai dengan diri sendiri, fokus pada diri sendiri, dan mengelola ekspektasi terhadap orang lain. Jika orang lain tidak bisa memberi saya kebahagiaan, saya punya diri sendiri yang bisa diandalkan. Dan itu semua lebih dari cukup.

Pada akhirnya, ketika seseorang datang bercerita tentang rasa kecewanya, terimalah perasaan kecewanya. "Itu memang nggak enak, tapi aku yakin kamu bisa berdamai dengan perasaan itu. Nggak perlu dipaksa, biarkan mengalir saja dan percaya sama dirimu kamu bisa melewatinya."

Oh ya, dan jangan lupa, seleksi alam akan terjadi sewaktu-waktu.

Komentar

Postingan Populer